Tuesday, July 13, 2010

Apresiasi Cerpen : Wanita Bermata Shangrila

"SURGA" TAK SELALU INDAH


Oleh: Eli Fatimah Azzahra,S.S.*




Tak jarang cerpen yang mengangkat tema Cinta, termasuk cerpen yang berjudul “Wanita Bermata Shangrila.” penulis mengangkat sebuah tema yang sudah sangat umum. Akan tetapi, penulis bisa meramu kata dengan indah sehingga kesan picisan sangat jauh dari cerpen ini.

Cerita ini mengisahkan intrik kehidupan cinta seorang pemuda yang selalu gagal. Ketika kegagalan kedua yang dia alami serasa menghancurkan, angannya melambung saat ada seorang wanita memasuki hidupnya. Sejuta harapan dia gantungkan. Selaksa mimpi dia angankan. Akan tetapi, kenyataan tak seindah mimpinya. Alangkah terkejutnya ketika sang pemuda mengetahui kalau si gadis telah mempunyai calon suami. Kekecewaan yang dalam karena si gadis datang memberi harapan kepada sang pemuda tetapi dia menghancurkannya dalam sekejap. Perasaan kecewa ini jelas tersurat dalam sepenggal ceritanya:…“Saat itu akalku buntu, lidahku kelu. Rupanya dia telah mempunyai calon suami jauh hari sebelum aku ia datangi. Kecewaku panjang, kenapa ia tak katakan sejak awal. Sedang kini bunga-bunga itu terlanjur bermekaran. Hatiku dipenuhi tanya, untuk apa ia ungkapkan kerinduan dan kata sayang jika tak bisa menyatukan? Untuk apa ia tuangkan pujian dan sanjungan jika hanya akan meninggalkan?..." Beruntung sang pemuda mempunyai seorang sahabat yang tidak sekedar menghiburnya tetapi juga memberikan solusi.

Nuansa agamis sangat kental di setiap pembicaraan kedua tokoh ini. Bahkan sahabat tersebut mengatakan bahwa cinta si tokoh itu semu, hanya fatamorgana yang menipu. Itu menandakan bahwa cinta terhadap makhluk tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan cinta pada sang pencipta. Nuansa agamis ini juga kentara ketika cerita disisipi dengan ayat AlQuran yang dalam cerita itu sangat disukai oleh sang tokoh. Berikut cuplikannya:…“Al Baqoroh, halaman ke tiga belas dari juz dua. baris pertama. Tentu kau ingat ayatnya.”“Aku ingat,” Jawab sang pemuda berhati poranda. “216. Wa ‘asaa antakrohu syaian wa huwa khoirul lakum, wa ‘asaa antuhibbu syaian wa huwa syarrul lakum.” Pelan ia lantunkan ayat Al Qur’an.“Bukankah itu cukup untuk menerima semua dengan lapang dada?” tanya sang sahabat.“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu.”… .

Kekuatan cerpen ini selain terletak pada nuansa islami yang kental juga pada diksi atau pilihan katanya. Pemilihan judul yang menggunakan kata-kata yang tidak biasa, "Shangrila" yang berarti surga. Kata itu sudah memprovokasi pembaca untuk membaca isi cerpennya. Selain itu, dengan adanya cuplikan ayat Al Quran diharapkan pembaca yang menikmati cerpen ini sampai pada katarsis atau penyucian jiwa. Inilah tujuan tertinggi sebuah karya sastra dilahirkan. Penulis lihai memilih kata sehingga pembaca ikut hanyut dalam masalah si tokoh.

Cerpen ini mengingatkan kita pada novel penulis best seller Indonesia, Habiburrahman El Shirazy yang berjudul “Pudarnya Pesona Cleopatra”. Secara sekilas cerpen ini memang berbeda walaupun sama-sama mengangkat tema Cinta. Akan tetapi, bisa diambil benang merah di antara keduanya yaitu: Kedua tokoh utamanya sama-sama tidak mendapatkan cinta yang diinginkan. Akan tetapi di balik itu, sesungguhnya Allah telah mempersiapkan seseorang yang tepat untuk mereka. Ada dua pemeran utama dalam novel mini ini. Pria yang memperistri wanita bernama Raihana tanpa ada cinta sebelumnya, karena pernikahan mereka hanya karena berbakti pada orang tua. Raihana dideskripsikan sebagai seorang wanita yang cantik, berjilbab rapi, dan hafidz Al Qur’an. Posturnya yang semampai dan lembut. Ia mencintai suaminya sepenuh hati walaupun sang suami belum bisa mencintainya. Karena tokoh “Si Aku” dalam novel Pudarnya Pesona Cleopatra mencintai gadis Mesir yang sangat cantik dan di matanya hanya gadis Mesirlah yang cantik. Dia berontak dan tak jarang membuat istrinya sakit hati. Akan tetapi, istrinya selalu sabar menghadapinya. Sampai suatu ketika dia sadar dan ingin kembali pada istrinya. Tapi sayang, istri yang baru saja ia inginkan telah meninggal dalam keadaan mengandung anaknya karena kecelakaan. Ironis memang.

Tak ada gading yang tak retak. Begitu juga dengan cerpen ini. Kelemahan pada cerpen ini terletak pada konfliknya yang kurang greget sehingga kesan ceritanya datar. Penulis seharusnya bisa lebih mengombang-ambingkan perasaan pembaca dengan konflik yang kompleks.
Dilihat dari jenis kekuatan yang saling berlawanan, konflik dibedakan sebagai berikut:
1) Man vs. Man (physical) : Tokoh utama menggunakan kekuatan fisiknya berhadapan dengan tokoh-tokoh orang lainnya, kekuatan alam, maupun binatang
2) Man vs. Circumstances (classical) : Tokoh utama berhadapan dengan takdir atau situasi-situasi dalam kehidupan
3) Man vs. Society : Tokoh utama berhadapan dengan ide, pemahaman, maupun politik dari sekelompok orang
4) Man vs. Himself/Herself (psychological) : Tokoh utama berhadapan dengan dirinya, jiwanya, pemikiran yang benar maupun salah tentang dirinya, keterbatasan kemampuan, pilihan yang dibuatnya, dan lain-lain.

Pada cerpen ini, penulis lebih mengolah konflik batin si tokoh. Pertentangan yang ada dalam dirinya tentang kekecewaaan terhadap orang yang telah memberikan harapan cinta padanya menjadi fokus penceritaan. Konflik seperti ini bisa sangat menarik atau malah menjadi bumerang.
Menarik apabila penulis bisa mengolah masalah mulai dari gawatan (rising action) sampai dengan klimaks kemudian diakhiri dengan ending yang mengejutkan pembaca. Konflik pada cerpen ini kurang diramu sehingga menjadikan cerita sedikit monoton dan datar. Menarik apabila penulis bisa menyajikan permasalahan dari awal sehingga kesan ceritanya lebih berliku dan diakhiri dengan ending yang cantik. Pola umum alur dalam sebuah cerita antara lain:
- Bagian awal: paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), gawatan (rising action)
- Bagian tengah: tikaian (conflict), rumitan (complication), klimaks
- Bagian akhir: leraian (falling action), selesaian (denouement)

Cerpen Wanita Bermata Shangrila terlalu lugu atau terlalu mengikuti pakem ini dalam membuat alur. Mungkin disebabkan karena kehati-hatian penulis atau alasan lain. Cerita ini mungkin akan lebih menarik apabila ada loncatan-loncatan alur yang bisa membuat pembaca lebih penasaran dengan step alur selanjutnya. Terlepas dari kekurangan tersebut, cerpen ini bagus untuk bahan katarsis dan untuk muhasabah diri. Apalagi untuk mereka yang merasa kurang beruntung karena tidak mendapatkan seseorang yang mereka cintai. Yang seharusnya bersyukur karena Allah akan memberi apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.


*Penulis -Eli Fatimah Az Zahra- , saat tulisan ini diunggah masih tercatat sebagai pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di MA Citra Cendekia, Jakarta