Friday, November 4, 2016

Menggenggam Cahaya (bag. 2)

Akhirnya ia pergi juga, kembali meninggalkan rumah yang belum lama disana ia singgah. Demi memenuhi keinginan orang tua juga demi hasratnya untuk berbakti pada keduanya. Ia coba untuk tak hiraukan segala hal yang akan menanti di hadapan. Usia yang menua, pernikahan yang tertunda dan pemasukan yang belum jelas dari mana, semua itu tak lagi ingin ia fikirkan. Yang penting kini bagaimana ia bisa sedikit membuat ayah dan bundanya tersenyum bahagia.

Maka disinilah ia, di sebuah tempat yang tiap saat terdengar suara ayat-ayat-Nya dibaca. Dari beratus lisan suara itu bersahutan yang jika didengar dari kejauhan seakan dengungan kepak sayap lebah yang berjumlah ribuan.

Tempat itu, yang hidup penghuninya diatur sedemikian rupa sejak terbukanya mata hingga mereka kembali dalam baringnya. Setiap kegiatan yang mereka lakukan selalu ditandai dengan lonceng yang dipukul berulang. Dari dentangnya mereka tahu kapan harus bangun, kapan membersihkan diri, kapan mereka makan, kapan bersiap untuk belajar, kapan mulai mengaji, dan kapan mereka berhenti untuk beristirahat. Setiap kali lonceng berbunyi maka akan tampak beratus orang yang mengenakan pakaian yang hampir serupa, -peci hitam yang selalu lekat di kepala, sarung sebagai pengganti celana dan baju lengan panjang yang tak sedikit yang jarang disetrika-, berlalu lalang, bergegas untuk melakukan aktivitas yang telah terjadwal.

Dari hari ke hari rutinitas mereka tak jauh berbeda. Bangun awal sebelum fajar, melantunkan pujian berisi nama-nama indah milik penguasa alam sembari menanti sembahyang subuh ditegakkan. Menjelang pagi, tampak antrian di depan pintu-pintu kamar mandi. Tak jarang di sela-sela mereka mengantri terdengar teriakan, "Lama kang! Ngapain di dalam? Mencurigakan." Atau "Cepetan Kang, itu mandi atau nyuci truk?" Atau "Mandinya kayak perawan Kang, luluran ya? Lama banget."

Ketika datang waktu makan maka terlihat di depan asrama lingkaran-lingkaran manusia mengelilingi sebuah nampan. Lima hingga sembilan orang bergantian mengambil suapan nasi dengan tangan telanjang. Meski seringkali makanan mereka masih mengepulkan asap, tapi itu tak mengurangi kecepatan suapan. Dan panasnya hidangan bukanlah penghalang untuk mengisi perut yang lapar.

Di lain waktu, akan terlihat mereka menyendiri di sudut-sudut lingkungan pondok dengan tangan memegang kitab suci. Bibir mereka bergerak-gerak tanpa henti, mengulang-ulang bacaan Al Qur'an dan berusaha untuk menghafalkan.

Demikian pula dengan dirinya, ia pun mengikuti alur kehidupan di lingkungan ini. Memang dia sudah terbiasa, kehidupan seperti itu sudah tak lagi asing baginya karena ia lahir dan besar di tengah-tengah tempat dengan suasana yang tak jauh berbeda.

Memang menjenuhkan, hidup terkurung di lingkungan kecil dengan kegiatan dan orang yang itu-itu saja. Namun semua tetap mereka jalani demi capaian mulia yang akan didapatkan setelah mati, itulah yang mereka yakini. Kemantapan hati yang mereka miliki untuk bertahan di tempat ini semakin menjadi ketika guru mereka, sang Kyai, selalu mendampingi dan memberi motivasi.

Kyailah yang mengingatkan mereka akan tujuan dan apa-apa yang kelak akan didapatkan di sisi Tuhan. Begitulah pula yang ia rasakan kala pertama kali datang, pesan dan nasehat pun ia dapatkan.

"Mau nyantri disini?" Tanya pak Kyai kala itu.
"Iya pak Kyai." Jawabnya
"Mau menghafalkan Al Qur'an?" Tanya beliau lagi. Dan ia kembali menjawab, "Iya pak Kyai."
"Alhamdulillah, alhamdulillah kalau sampeyan mau menghafal Al Qur'an. Disyukuri ya Kang, karena tidak semua orang mendapat kesempatan. Tidak setiap orang dibukakan hatinya dan dimudahkan untuk mau menempuh jalan Al Qur'an. Allah sudah membukakan jalan pada sampeyan untuk menjadi salah satu Ahlullah, keluarga Allah di muka bumi, tinggal sampeyan mau bersungguh-sungguh atau tidak. Sudah siap nyantri disini kan?"
"Insya Allah sudah pak Kyai."
"Kalau memang sudah siap ada beberapa hal yang mesti sampeyan perhatikan Kang sebelum menghafal Al Qur'an." Ia mulai menajamkan telinga, bersiap menerima petuah pertamanya.
"Yang pertama, niat yang ikhlas. Luruskan niat dulu, bukan karena siapa-siapa dan bukan karena apa-apa tapi cuma mengharap ridho-Nya dan kemuliaan di sisi-Nya. Agar nanti amal yang dilakukan tidak sia-sia. Yang kedua, ada guru yang membimbingmu. Tanpa guru kita tidak akan tahu sudah benar atau belum bacaan dan hafalan kita. Yang ketiga, susunlah jadwal. Kapan sampeyan harus menghafal, kapan mengulang hafalan, kapan istirahat. Harus ada kejelasan pembagian waktu sehingga ada keteraturan agar waktu yang ada tidak terbuang percuma. Yang keempat, istiqomah. Istiqomah dalam menetapi jadwal yang sudah sampeyan susun sebelumnya. Dan yang kelima, ini yang terakhir. Sabar, karena menghafal Al Qur'an membutuhkan waktu yang panjang, tidak sekedar sehari dua hari. Dan tentunya nanti dalam prosesnya tidak seterusnya lancar pasti akan ada cobaan yang datang."

Dia menganguk-menganguk mendengar tuturan itu. dan menyahut "Mohon doa restunya pak Kyai semoga bisa berhasil."
"Iya, Semoga kamu nanti dimudahkan dan diberi kelancaran." Sahut sang Kyai.

* * *

Ia pun mulai mencoba melekatkan dalam benak ayat demi ayat dari firman Ilahi. Memindahkan dari bentuk tulisan yang bisa dipandang ke dalam hati dan ingatan.

Pikirnya di awal mula, waktu dua tahun cukup untuk menuntaskan semua yang sekarang ia jalani dan keinginan kedua orang tuanya pun akan segera terpenuhi. Hitungnya, kitab Al Qur'an yang dicetak biasanya terdiri dari kurang lebih 600-an halaman. Sedangkan satu tahun terdiri dari 360 hari. Jika sehari dia mampu menghafal satu halaman maka dalam jangka waktu kurang dari dua tahun semua telah tuntas dihafalkannya. Lagi pula dia percaya dengan kemampuan akal yang dianugerahkan Tuhan padanya. Menghafal sudah menjadi kebiasaannya sejak usia muda. Prestasi demi prestasi juga ia torehkan pada tiap jenjang pendidikannya. Guru-gurunya memuji kecerdasan dan mudahnya ia memahami segala yang ia terima. Tentunya jika hanya menghafal selembar sehari tanpa aktifitas lain yang mengganggu dia pasti mampu.

Namun, terkadang segala rencana dan hasrat seseorang tidak seiring dengan kenyataan yang ada di hadapan. Tak selalu sama antara apa yang dikehendaki dengan hasil akhir yang dihadapi.

================================================================
Kudus, Agustus 2015
Bersambung

Baca : Menggenggam Cahaya (bag. 1)

Tuesday, November 1, 2016

Serpih Kata di Sela Masa 14

9 Januari 2014
Wahai saudariku seiman, jangan nodai hijab itu dgn nilai-nilai yang jauh dari ajaran, karena di belahan bumi lainnya para wanitanya butuh perjuangan ketika ingin mengenakan...

12 Januari 2014
Wahai diri, apa kan kau lupa pelajaran pertama yang kau terima saat melingkar bersama? Tentang segitiga cinta. Cinta pada sang pencipta penguasa semesta, cinta pada Muhammad sebagai utusan Yang Kuasa dan cinta Islam sebagai agama yg kau rindukan tegaknya? Namun kini, apakah kau sadari kemana cintamu berlari?

14 Januari 2014
Ketika sesuatu tertunda kadang bukan karena kemauan kita, kecewa sewajarnya saja dan coba nikmati kesempatan yang tak biasa. Anggap saja sebagai istirahat di kala jeda...

15 Januari 2014
Jika ia tak juga hilang dari ingatan maka mintalah pada yang Maha Besar untuk menghapus bayang yang ada dalam pikiran. Bukankah ada yang lebih penting untuk diperhatikan? Yang lebih bisa memberi kepastian dalam kebaikan? Yang lebih menjanjikan balasan yang tak berkesudahan ...

17 Januari 2014
Mendekat... Mendekat... Semoga Ia membuat diri lebih kuat dalam menghadapi coba yg terasa berat...

19 Januari 2014
Asa itu selalu ada, tinggal diri kita mau atau tidak menjaga nyalanya. Bukankah masih ada Yang Esa? Bukankah hanya pada-Nya bermuara segala harap dan pinta. Maka, wahai diri, tak ada alasan utk berhenti memupuk asa di hati hingga keputusan Ilahi terjadi...

21 Januari 2014
Kata yang telah terlontar seringkali akan timbulkan sesalan karena tanpa berpikir panjang. Sekedar kata maaf mungkin tak akan cukup menghapus luka karena sepatah kata. Namun tetap akan kukatakan, maafkan diri ini yang telah lontarkan kata yang sakitkan hati....

30 Januari 2014
Kadang tak mengerti sebab kenapa ada resah di hati. Kemudian sibuk mencari demi sebuah solusi. Tapi tanpa sadar masa pun terbuang hanya untuk menelusuri hal yg tak pasti. Ada kalanya perlu untuk tak peduli pada tanya "kenapa?" kemudian terus berjalan menuju tujuan, seiring waktu yg berlalu resah pun tak kan bertahan....

30 Januari 2014
Apa ku harus kembali ke tempurung lamaku? kemudian berdiam mencoba buta dan menutup gendang telinga. Karena rupa dunia yang butuh sabar tanpa purna dalam menghadapinya. Selalu ingin lari menghindari, selalu ingin pergi atau berhenti. Tapi jika itu pilihanku, aku takkan pernah sampai pada tempat yg kutuju...

30 Januari 2014
Tak perlu menghujat, janganlah disalahkan, tak kita salahkan pun ia telah buat kesalahan. Apa dengan hujatan dan cemoohan bisa membuat ia kembali beriman? Sungguh dalam beragama tak ada paksaan, seharusnya kita kasihani, karena iman telah tercabut dari hati dan lebih memilih kesengsaraan abadi setelah mati. doakan saja dia agar bisa kembali menikmati manisnya hidayah di sanubari. dan bersyukurlah karena bukan kita yang diberi coba berkenaan dengan ingkar keluar dari islam ....

1 April 2014
Kau kah orangnya, bagian dari para pemburu surga yang bersedia menjadi otak, hati, dan tulang punggung bagi indonesia?! Tak kah kau bersedia?

8 Juni 2014
Tanpa kau minta pun, aku akan tetap berusaha. Tanpa kau ingatkan pun, aku akan tetap tuntaskan. Tak undur karna cela, tak patah karna lara. Laju langkah tak kan reda, karena yakin di ujung gelap kan ada cahaya

10 Juni 2014
Wahai diri, bagaimana kau kan memberi terang pada sekitar sedang engkau masih saja tenggelam dalam kegelapan?

6 Agustus 2014
Jalan memang tak selalu lurus. Meluruskan jalan yang berkelok-kelok? Mustahil. Kadang jalan dibangun berkelok untuk memudahkan mencapai tujuan. Pernah mencapai puncak bukit atau gunung dengan jalan lurus? Kerasnya suara palu dipukul di atas paku tentu lebih mengganggu dari pada putaran obeng saat memasang sekrup ... nikmati saja kelokannya karena itu niscaya... asal hati dan amal tak bercabang dan menyimpang dari kebenaran....

6 Agustus 2014
Mudah kita berkata "jalani saja", "sabar", "nikmatilah" atau "tetaplah bertahan", ketika seseorang tumpahkan keluhan, sedang kita dalam kelapangan dan belum pernah alami sendiri apa yang terjadi. Menjadi sosok sok tahu dan seolah mengerti padahal belum tentu kita sekuat mereka ketika menghadapi hal yang sama....
Menjadi sosok tahu diri yang tidak menggurui, memberi semangat tanpa memposisikan diri lebih tinggi, semoga kita bisa...

7 Agustus 2014
Karena tidak selalu yang berlaku seperti inginmu... Karena tidak selama yg kita cita kan tergenggam sempurna...
Kelapangan hati dan yakin bahwa yang dialami adalah yg terbaik bagi diri, semoga senantiasa dimiliki...

8 Agustus 2014
Wahai diri...
Sampai kapan kan kau biarkan dirimu dalam kubang kehinaan?
Dengan tak perhatikan keadaan jiwa yang selalu berteman kealpaan.
Tak juga malu ketika izzah diri tak nampak lagi.
Pedulimu pun hilang saat perhatikan segala keburukan.
Tak juga terbersit iri ketika orang-orang berlari mendahului dalam menggapai ridho Ilahi.
Pekamu sirna, banggamu akan agama pun tak lagi ada, ghirah juga tiada getarnya...
Apa kau telah memilih panasnya neraka?

9 Agustus 2014
Dan kumelihat di antara mereka ketika gagal mendapatkan sesuai kemauan atau tak bersanding dengan sosok yang didambakan, mereka dianugerahi oleh Ilahi lebih dari yang diingini....

8 September 2014
Dia pengasih dan penyayang. Dia yang memenuhi segala harapan dan mengganti setiap yang hilang. Dia berkehendak atas segala yang ada tapi tak pernah menzhalimi hamba-hamba-Nya. Dia muara segala pinta, cita dan asa... Dia Yang Maha Esa... tak ada tandingan, tak ada sekutu yang disandingkan... seruan nama-Nya senantiasa berkumandang... Allahu akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar....!

30 September 2014
wahai diri... bukankah pintu-Nya senantiasa terbuka, sebelum regang nyawa yang entah kapan datangnya... apa masih akan menunda?

23 Oktober 2014
jangan bersedih,
karena kau pun punyai nilai lebih...

27 Oktober 2014
Jangan kecewa, kau tetap istimewa. Tak perlu risaukan strata, gelar di belakang nama atau kau anak siapa untuk berlomba dan mempersembahkan yang dipunya. Karena setiap ciptaan punya peran dan kesempatan yang sama di sisi Yang Maha

1 November 2014
Allah tahu yang terbersit di dalam hatimu. Lebih-lebih segala yang kau lakukan dan utarakan, Dia menyaksikan!

3 November 2014
Tidak selamanya, usia terbatas jumlahnya, pasti alami regang nyawa dan kembali pada-Nya. Sudahkah sedia?

15 November 2014
alhamdulillah... segala puji hanya milik-Mu! terima kasih wahai penguasa semesta atas karunia yang Engkau anugerahkan kepada hamba, meski butuh sekian masa akhirnya satu lagi anak tangga cita telah tertapak sempurna...
terima kasih wahai Yang Maha Besar, atas kesabaran, keteguhan dan kekuatan yang Engkau karuniakan hingga ku tak henti di tengah jalan, tak berpaling dari cita yang ingin kutuntaskan... terima kasih ... terima kasih wahai Ilahi ... telah memberi nikmat ini...

16 November 2014
Mengenalmu, membuatku belajar untuk tak memaksamu menjadi seperti inginku. Yang kulakukan, terus berusaha memahami dan bersabar melihatmu berkembang dengen segala minat yeng kau inginkan...

27 November 2014
Akan ada pilihan yang kadang membingungkan, ada kesenangan yang ditinggalkan, ada keinginan yg ditangguhkan dan ada hal yang dikorbankan! Ketika ada banyak goda, akankah bisa tuk tak palingkan mata dari cita?

===========================================================
Rangkai kata di atas merupakan kumpulan status dari akun FB “Tiada Nama (Ardhi el Mahmudi)