Sunday, March 17, 2013

Tebaran Nama-Nama


Oleh: Ardhi El Mahmudi




Ruangan ini senyap, hanya ada suara tuts keyboard yang kutekan bergantian. Kadang terdengar suaraku sendiri, berdehem atau iseng-iseng bersiul membunuh bosan.

Sesekali juga dengan suara agak keras aku mengeja satu persatu tulisan nama-nama kemudian mengetikkannya.

 “Abdullah Badi’.”

“Abdul Basith.”

“Abdul Hadziq.”

“Abdul Mu'thi Irhamna.”

“Adib Al Mahzumi.”

“Ahdaf Allawi.”

“Ahmad Muhajir.“

“Ahmad Shoby Amnan.”

“Ali Asyhadi.”

“Ali Rofi'i Al-Halimy.”

“Alzim Shobri.”

“Amirul Hadi.”

 

Nama-nama ini sedikit asing di lisan dan telingaku. Baru kali ini aku membaca nama dengan bau arab semua.

 “Aniq Fanani.”

“Aniq Najibullah.”

Asif Sifaus Shobari.“

“Asyroful Khotim.”

“Attabik Huda.”

“Azhar Nadhif.”

“Badruz Zaman.”

“Barqillah Romadhoni.”

“Dliyaur Rahman.”

“Dzul Kifli Amka.”

“Faiq Syafi’uddin.”

“Faizud Daroini.”

 

Daftar nama ini harus selesai hari ini. Sebenarnya memang bukan bagianku menjadi juru ketik. Lebih-lebih aku orang baru di tempat ini. Tapi di pesantren tradisional seperti disini memang tidak banyak yang bisa lancar mengoperasikan komputer.

Dan semalam, seorang ustadz datang ke asrama menemuiku kemudian bertanya, “Bisa komputer?”

Maka disinilah aku sekarang, mengeja nama satu-satu dan mengetikkannya.

 “Fathul Hanan.”

“Faza Ersyada.”

“Fitroh Saifuddin.”

“Fuad Zain.”

“Ghulam Ubaidillah.”

“Hadi Irfani.”

“Haris Taufiqul Kamal.”

“Harisun Alaikum.”

“Hatim Hulwi.”

“Hizbullah Huda.”

“Husna Mahtida.”

“Husni Muaffa.”

“Idrus Al Mutawashlih.”

 

Mataku berpindah-pindah antara tulisan tangan di lembaran dengan hasil ketikan di layar monitor. Aku berhenti sejenak, kugerakkan badan dan pinggang, berharap bisa menghilangkan rasa pegal. Kulirik lembaran-lembaran itu. “Hmm, masih ada banyak nama.” Batinku. Memang tak bisa berhenti lama-lama. Dan jariku kembali bekerja.

 “Iqbal Salahudin Abdul Khobir.”

“Iqbal Tazakka.”

“Irfanul Mawahib.”

“Jauhar Maknun.”

“Jihaduddin Akbar Auladi.”

“Jundan Furqoni.”

“Kanzul Ghina.”

“Kafil Aziz.”

“Khirzi Ya Maulana Nur Muhammad.”

“Khoironi Al Kafi.”

“Khoirul Anam.”

 

Apa arti nama-nama ini? Pertanyaan itu terbersit begitu saja. Tentu saja aku tak paham sama sekali. Otak milikku yang binaan sekolah umum tak bisa mencerna kata-kata bahasa Arab, masih terlalu asing. Hitungan pekan di tempat ini belum bisa membuatku mengerti. Maka aku hanya bisa mengeja tanpa tahu apa-apa.

 “Khoirul Anshori.”

“Khoirun Na’im.”

“Kholilurrohman.”

“Luthfi Hakim.”

Mahrus Fauzi.”

Mahzum Idris.”

Miftah Farid Anis Muzayyan.”

Mizwar Shofa.”

Mu’affif Ubaidillah.”

Muayyad Najih.”

“Mufidh Raudhoh.”

“Mufidul Anam.”

“Muhammad Nabilul Umam.”

Muhibbi Ja’far.”

 

Bagiku kini, membaca nama-nama ini serasa sedang melantunkan dzikir atau menyanyikan syair-syair arab. Sama-sama tak tahu artinya tapi aku menikmatinya.

Multazam.”

Muzakki Labib.”

Nafi’uddin Abid.”

Nukman Azzizi.”

Nur Adib.”

“Nurul Ahsin.”

Nur Wahid Syamsuri.”

Roji Fadlan.”

“Romza Jayyida.”

“Saiful  Arifuddin.”

“Saiful Bahri.”

“Sholah Muqoddam.”

“Sulthon Jamil.”

“Suhartono.”

 

Kali ini aku berhenti lagi. Agak lama, kupandangi nama yang terakhir kuketikkan. “Suhartono.” betapa jauh berbeda dengan nama-nama sebelumnya. Aku tersenyum kecut, saat melihat nama itu. Itu namaku sendiri. Sebuah nama jawa yang aku sendiri tak begitu paham maknanya.

Dulu ketika usiaku masih belasan, aku begitu bangga menyandang nama itu. Cuping hidungku pun sering kembang kempis dengan senyum lebar di bibir ketika ada yang memanggilku “Pak Harto!” Pikirku saat itu, kapan lagi bisa disamakan dengan presiden yang dijuluki bapak pembangunan. Nama “Harto.” serasa begitu istimewa, apa lagi bila ada pemutaran film Janur Kuning atau G30/S/PKI. Tampak disana peran pak Harto di tonjolkan, aku yang punya nama mirip ikut kecipratan populer.

Tapi setelah reformasi 1998, aku lebih suka mengenalkan diri dengan menyebut potongan nama belakangku, “Tono.” Tentu saja nama “Harto” tetap populer namun tak bisa lagi dibanggakan seperti ketika usiaku masih belasan. Pasti pikiran orang langsung ke hal berbau KKN jika disebut nama itu. Dan setelah beliau mangkat, nama itu tak lagi sepopuler dulu. Ah, masa lalu. Kuputus kenangan di benakku dengan kembali mengetikkan nama-nama.

“Syafawi Irsyad.”

“Syafiq Naufal.”

“Syafrul Umam.”

“Syahril M. Noor.”

Syauqi Nur Affandi.”

Ulil A’la.”

Ulil Aidi.”

Waqos Affan.”

 

Sebuah tepukan di bahuku membuatku menoleh. Sosok yang menemuiku semalam berdiri di sampingku. “Sudah selesai?” tanyanya. “Tinggal sedikit lagi tadz.” Jawabku.

“Kalau sudah selesai, tolong ya, ini ada lagi. Daftar nama santriwati.” Katanya sembari mengangsurkan lembar-lembar kertas ke arahku. Aku menerimanya dan membaca daftar nama-nama itu. Lagi-lagi nama yang asing di lisanku.

“Wahidatur Rohmah.”

“Aizzatin Nisaa.”

“Nur ainun Nadhiroh.”

“Nailil Mafazah.”

“Iklilatun Nafi’ah.”

“Inayatul Khariyah.”

“Fitrotul Laili.”

“Irsalina Rohmah.”

“Rizul Wasithoh.”

“Nila Miftahun Ni’mah.”

“Wardatul Luthfiyah.”

“Nur Lathifah Ulya.”

 

Aku tersenyum.

“Ada apa kok senyum-senyum sendiri?” tegur ustadz. “Apa ada nama yang kamu kenal?” lanjutnya seperti menyelidik. Aku menggeleng. “Tidak tadz, Cuma senang saja membaca nama-nama ini, bagus-bagus, terdengar unik. Meski asing di lisan dan tak tahu artinya.”

Ustadz tertawa kecil.

“Memberi nama yang indah itu salah satu kewajiban orang tua pada anak. Nama juga bisa jadi cerminan harapan orang tua atas anaknya. Nama itu doa.”

Aku menganguk-anguk mendengar penuturan itu. Kulanjutkan membaca daftar nama di tanganku.

“Aniqotuz Zahro.”

“Anis Fatur Rofi’ah.”

“Faiqotul Isnaini.”

“Inna ‘Azimatul Musa’adah.”

“Khiyarotun Nisaa.”

“Nailil Mafazah.”

“Siti Khulafiyah.”

“Husnus Sa’adah.”

“Alfian Na’im.”

“Sa’idatun Mubayyanah.”

 

Aku merasakan kejanggalan saat membaca daftar ini.

“Ainun Sakinah.”

“Dhuhurus Sa’adah.”

“Kuni Farichah.”

“Nia Uswatun Nuha.”

“Sitta Umdatul Millati.”

“Uyun Nashihah.”

“Tazyinatul Millah.”

“Laya Liyana Mahla.”

“Himmatul Ulya.”

 

“Maaf tadz, ini belum urut abjad ya? Atau memang sengaja tidak diurutkan?” Tanyaku memastikan kejanggalan yang kurasakan.

“Oh iya, itu belum urut. Sini tak benarkan dulu urutannya, biar kamu tidak kerja dua kali.” Jawabnya sambil mengambil lembaran kertas dari tanganku. Dan aku pun kembali ke pekerjaanku yang tertunda, mengetikkan nama-nama.

Yazid Syahri.”

Yusrul Ula.”

“Za’imul In’am.”

Zainun Naja.”

Ziaurrohman.”

“Zidni Nafi'.”

 

Adzan dhuhur berkumandang tepat saat kuketikkan nama terakhir dari lembaran, “Tinggal nama-nama perempuan.” Batinku.

“Dilanjutkan nanti malam saja. Kamu istirahat saja dulu.” Kata-kata itu melegakanku, “Istirahat saja dulu.”

Aku menganguk, sembari mengarahkan krusor ke ikon start, menekan mouse, memilih menu shutdown, beberapa kali klik dan monitor di depanku pun berubah warna.

“Ke masjid?” Suara ustadz lagi, pertanyaan yang lebih terkesan ajakan. Aku kembali menganguk dan mengikuti langkah-langkah kakinya.

 

***


“Disuruh apa sama ustadz? Kok lama?” Pertanyaan Ali menyambutku saat aku memasuki kamar asrama. “Ngetik daftar absen.” Jawabku. Dia ber “o” panjang, dan kembali menekuni koran terbitan kemarin yang dibaca bersama dua orang santri.

Kulepas peci hitam yang melekat di kepalaku sejak pagi tadi. “Nama santri disini bagus-bagus ya? Unik. Sayang aku tidak paham semua artinya.” Kataku sambil duduk di samping mereka. Kudengar tawa kecil mereka. “Beda jauh dengan namaku yang jawa banget.” Lanjutku. “Ganti nama saja Ton.” Kali ini suara Fuad menimpali. “Iya Mas, minta sama Kyai biar dicarikan nama baru.” Kata Multazam, ikut nimbrung.

“Memangnya bisa?” tanyaku.

“Bisa, santri sini kan ada yang ganti nama juga. Dulu ada yang namanya Iwan, diganti dengan Ridwan. Pak Har alias Ustadz Azhar, dulu namanya Haryanto. Mas Ahdaf dulu juga namanya Dwi. Semua nama yang ngasih pak Kyai.”

Aku menganguk-anguk mendengar tuturan mereka.

“Lagi pula, kalau namamu tidak diganti malah lucu, aneh.”

“Kok bisa?”tanyaku.

“Terang saja aneh, kalau kamu jadi ustadz atau malah jadi Kyai, manggilnya gimana? Ustadz Tono gitu? Atau Kyai Tono? Atau malah Kyai Harto? Emangnya pantes?”

Aku tersenyum kecut dan mereka tergelak.

“Kalau Ustadz Fuad atau Kyai Ali, itu baru cocok.” Dan lagi-lagi gelak tawa mereka terdengar.

“Kyai Tono? Ustadz Harto? Memang kedengarannya tidak pantas.” Batinku. Aku pun beranjak dari dudukku sebelum tawa mereka berhenti.

“Lho? Mau kemana Ton? Gitu aja ngambek.” Seru salah satu dari mereka saat melihatku meninggalkan ruangan.

“Siapa yang ngambek? Mau ke wartel, telpon rumah.” Jawabku sambil berlalu.

 

***


Kubuka pintu kaca bertempel stiker KBU 1. Kuraih gagang telepon dan menekan nomor yang telah kuhafal di luar kepala. Nada panjang teratur mengisi gendang telingaku. “Halo Assalamu’alaikum.” Suara perempuan di seberang, Ibu.

“Wa’alaikumussalam.” Jawabku. “ini Har bu.”

“Oh kamu le? Ada apa? Tumben telepon, bagaimana kabarnya? Uangnya apa sudah habis?”

Aku tersenyum mendengar rentetan tanya itu, khas Ibu. “Kabar Har baik bu, uang saku juga masih. Bapak ada bu?”

“Bapak pergi, ada apa to?”

“Ada perlu sedikit.”

“Perlu apa?”

“Anu.. kalau misalnya Har ganti nama gimana bu? Boleh tidak?”

“Ganti nama bagaimana? Maksudnya?”

“Ya namanya diganti, jadi yang lebih islami.”

“Lha namamu itu apa ndak islami terus ndak boleh dipakai gitu? Haram?”

“Ya ndak gitu bu..”

“Lha iya, wong ndak apa-apa, kenapa pengen diganti segala. Ndak usah neko-neko!”

“Tapi…”

Le.. nama itu pemberian bapakmu, itu doa dan harapan bapak dan ibu. Asmo kinaryo jopo! Itu kata orang-orang dulu. Namamu Suhartono, harta yang baik, kamu itu harta terbaik bapak dan ibu. Sudah bagus begitu kok malah mau kamu ganti.”

Aku diam, mendengar tuturan ibu.

“Apa masih mau ganti nama?”

Kucoba tersenyum dan akhirnya kujawab, “Mboten bu…”

Dan setelah salam, kuletakkan kembali gagang telepon ke tempatnya.

Bagaimana pun juga setiap nama yang diberikan orang tua punya makna, meski hanya sederhana. Dan namaku adalah cerminan harapan kedua orang tuaku. Jika kuganti semauku, begitu tak menghargainya aku akan doa mereka berdua. Ya sudahlah, mau bahasa jawa, bahasa arab atau bahasa inggris sekalipun yang penting aku punya nama dengan arti yang baik. Nama yang baik tidak harus pakai bahasa Arab kan?

 

***


Nada suaranya tenang dan berwibawa saat ia bertanya,

“Namamu siapa?”

“Suhartono pak kyai.” Jawabku.

“Suhartono?”

Nggih.”

“Tidak ingin diganti?”

Aku diam sejenak, “Mboten.”

“Kenapa?”

“Karena itu pemberian orang tua saya, Itu doa dan harapan mereka.”

Kulihat tak ada gurat kemarahan saat sarannya kutolak, yang ada hanya senyuman di wajah teduhnya.

 

 

Kudus, selesai diketik pada akhir Mei 2012


 

Untuk rekan-rekanku di PTYQ Kudus Putra & Putri, maaf nama-nama kalian kucantumkan tanpa menunggu persetujuan.

Sungguh, nama-nama itu begitu mengesankanku…