Tuesday, December 6, 2016

Serpih Kata di Sela Masa 15

4 Januari 2015
Tak hanya sekedar niat dan perencanaan. Tapi juga butuh keberanian untuk melakukan...

7 Januari 2015
Wahai diri, betapa memalukan, memelihara resah karena hal fana, resah bukan karena dosa atau kebaikan-kebaikan yang tertunda. Memalukan, memelihara kesedihan karena perkara dunia, bukan karena amal yang sering ditinggalkan atau keburukan yang masih saja dilakukan...

14 Januari 2015
Seakan terhempas dalam ketakberdayaan dan merasa jauh tertinggal saat dendang mereka kudengar berulang-ulang,
"Bukankah dalam hidup ini mati hanya sekali?
Kenapa tak jadikan akhirnya syahid di jalan ilahi?
Jiwa seorang syuhada berada di tempat yang tinggi,
diberi kedudukan mulia di sisi pencipta langit dan bumi..."

23 Januari 2015
Wahai diri tak kah kau ingat bahwa Dia Maha Melihat, berkuasa untuk mengazab, dan bisa saja murka dengan tingkah raga dan indra yang kau punya, sebelum terlambat dan menyesal, sebelum Ia turunkan hukuman untuk mengingatkan, lebih baik segera menyadari segala yang dilakukan....

10 Februari 2015
Kemana kan kau gantungkan sisa harapan, kemana kan kau labuhkan sisa impian, ketika setiap jalan dan peluang telah terbentur dinding penghalang, setelah segala usaha seakan dimentahkan...? pada yang maha besar, pada penguasa seluruh alam, tiada selain-Nya tempat tertuju semua pinta...

13 Februari 2015
jika kau dalam gamang, sejenak lupa pada apa yang seharusnya kau kerjakan,
kembalilah ke pintu, tanya kembali apa tujuanmu memasuki ruangan itu...
kembalilah ke titik awal, tanya kembali apa yang kau cari di jalan yang kini kau susuri...


(kembali mengaca diri, cikarang selatan 13/2/2015)

15 Februari 2015
meski kadang menyakitkan dan menuntut kesabaran yang tak biasa, nikmati saja prosesnya. karena kita tak pernah tahu bagaimana nanti akhirnya, seringkali hikmah tak kan kita ketahui sebelum prosesnya selesai dijalani...

16 Februari 2015
entah hukuman, teguran atau cobaan, saat keinginan untuk menuju kebaikan ditangguhkan. mungkin niat yang kurang kuat, mungkin ada haram dalam makanan yg disuapkan, mungkin tertahan oleh kemaksiatan yang berulang, mungkin ada sekian insan yang mendoakan pembalasan atas kedzoliman yang dilakukan...mungkin... mungkin... Ya Rabb, kumohon ampunan atas salah yang sadar dan tak kusadar...

19 Februari 2015
walau tanpa slogan dan penampilan yg tak se"syar’i" dan se"islami" dirimu, belum tentu mereka seperti pandangmu. Meski tampak biasa siapa duga rupanya mereka lebih taat dari yang kau kira, lebih dermawan dalam masalah harta, lebih takut pada sang pencipta pada setiap lakunya. Mungkin saja ibadah mereka yang sedikit lebih bernilai di mata-Nya karena disertai sesalan dan ketakutan sebab sadar akan kurangnya ketaatan. Dan boleh jadi banyaknya amalmu, juga bersegeramu kepada kebaikan tak berpahala karena disertai rasa bangga dan memandang sebelah mata atas mereka...

(subuh di mushola sebuah pabrik, cikarang selatan)

20 Februari 2015
Terima kasih wahai Rabb, Kau pertemukan diriku dengan orang-orang baru yang tumbuhkan rasa syukur atas keadaanku. Senyuman dari mereka, pertanyaan-pertanyaan mereka, cerita keseharian mereka, keinginan dan cita mereka, terdengar sederhana namun tulus dan apa adanya. Menyadarkanku betapa luasnya dunia, betapa beragam pikiran manusia, betapa tak semua memiliki kesempatan yang sama...
terima kasih pada kalian atas tanya, canda dan cerita, terima kasih atas senyuman dan keramahan yang diberikan....

(cikarang selatan, dlm shift malam berbincang dgn staf percetakan)

21 Februari 2015
Wahai diri, tak perlu pedulikan kata manusia akan capaian yang senantiasa tertunda, cukup terus berusaha dan jangan pernah berputus asa. Jadilah pemburu surga yang tak mengharap apa pun kecuali ridho-Nya dan nilai diri di sisi-Nya....

12 Maret 2015
sebuah pesan kudapatkan....

A: ambillah piring dan hempaskan ke lantai
B: iya, sudah...
A: apakah piring itu pecah?
B: iya
A: sekarang ucapkan maaf pada piring itu
B: Maaf...
A: apakah ia utuh kembali?
B: .....

#‎mengerti?

Memang kata maafku tak bisa mengembalikan hati yang terluka seperti sedia kala. Dan aku pun hanya bisa menerima ketika kau panjatkan doa agar Yang Maha Kuasalah yang akan membalas segala perlakuan yang kau terima. Siapa pula yang bisa melawan doa orang teraniaya, yang tiada hijab antara dia dengan Rabbnya, siapa pula yang mampu melawan seseorang yang dibela oleh Penciptanya?
Kalau memang tak ada lapang, kalau memang berat utk memaafkan, mungkin memang itulah yg pantas kudapatkan. Namun aku akan tetap mengatakan, "mohon maafkan..." dan berharap maaf darimu, hingga Allah pun tak pula ikut memurkaiku...

4 Mei 2015
Tak seberani yang kau kira, tak bisa setangguh yang kau pinta. Lelaki biasa yang terlalu ragu pada dirinya dan menutupi ketakutan yang dipunyai dgn kata-kata tinggi. Ia terpuruk dalam rendah diri melihat capaian yang kau miliki. Maka ia menghilang untuk menggapai tenang dan berharap ada jalan yang bisa tegakkan lagi tatapnya ke depan. Bukan dalam angkuh namun dalam yakin apa yang ingin ia rengkuh... bukan dalam sombong namun dalam yakin akan kuasa Sang Maha Penolong...

15 Mei 2015
Akankah derajatku meninggi di dalam pandanganmu wahai Ilahi? Dengan segala kekurangan diri dan taat yang entah berarti atau malah tak bernilai sama sekali. Akankah ada tempat istimewa yang tersedia bagiku wahai penguasa semesta? dengan amal yang terbersit riya, alpa yang tanpa jeda, tak juga henti menumpuk dosa dan taubat yang selalu ditunda...
namun kumasih memupuk asa, bahwa ampunan-Mu seluas samudra, bahwa pintu-Mu senantiasa terbuka...

14 Juni 2015
Berpuluh tahun hidup di dunia, dengan tumpukan dosa yang entah setinggi apa...
Apakah sebanding dengan kebaikan yang buahkan pahala,
yang diharap kan bisa beratkan timbangan di alam berikutnya...
Ah, masih ada nyawa yang lekat dengan raga...
Masih ada masa untuk perjuangkan derajat mulia...
Akankah di sisa usia kan didapat ampunan dan ridho-Nya?
semoga... semoga...

8 Juli 2015
hanya tinggal sepertiga, akankah sekedar mendapat lapar dahaga?

10 Juli 2015
"Seharusnya ia tak perlu ragu, bukankah tak selamanya dia bisa bersama kedua orang tuanya, kapan lagi ia bisa membuat keduanya bahagia. Jika di dunia tak ada lagi kesempatan dan tak ingin menyesal di hari depan karena tak sempat membahagiakan maka sekaranglah saatnya untuk sedikit membalas kebaikan yang telah ia terima. Tak ada ruginya dia mengikuti permintaan orang tua, lebih-lebih dia tahu yang diinginkan orang tuanya adalah kebaikan. Tak ada alasan untuk menolak dan mengelak, apa lagi jika hanya mengikuti keegoisan diri, jika demikian sungguh lakunya tak terpuji. "
(dari sebuah cerita: Menggenggam Cahaya. bag. 1)

17 Juli 2015
bukan karena barunya pakaian yang dikenakan atau lezatnya makanan yang dihidangkan, namun bagi yang bertambah ketaatan dan ketaqwaan. merekalah yang pantas merayakan hari kemenangan...
Taqoballahu minna wa minkum...


9 Agustus 2015
Inna lillahi wa innaa ilaihi rooji’uun...
telah meninggal dunia, hati yang jauh dari Ilahi. disebabkan karena tak lagi peka akan seruan kebenaran, dan enggan mengingat kebesaran pencipta alam, yang menghitam karena noktah kemaksiatan tak juga dibasuh dengan air mata pertaubatan. berlarut dalam kesalahan, menikmati berkubang dalam lumpur kehinaan dan tak juga indahkan panggilan kebaikan ...


19 Agustus 2015
Wahai Rabb, aku tetaplah sosok biasa yang punya keinginan seperti umumnya manusia. Maafkan jika kulancang dalam meminta, tak juga bisa sabar dalam menanti pengabulan doa, dan tak sopan dalam tuturan di hadapan-Mu wahai penguasa semesta... maafkan hamba...


27 Agustus 2015
wahai diri, bertahanlah dalam kebenaran, teruslah berbuat kebaikan, tebarkanlah kemanfaatan pada setiap orang, dan jangan palingkan hatimu dari tujuan demi keridhoan yang Maha Besar. Semoga dengan itu semua kau kan dapatkan keselamatan di kehidupan setelah kematian...


15 September 2015
Semoga rukun islam kelima yang ditunaikan oleh yang telah memiliki kemampuan diterima di sisi Yang Maha Besar.
Semoga dimudahkan segala urusan, tak ada halangan dalam perjalanan, juga dalam memenuhi syarat dan rukun peribadahan. Hingga kelak bisa kembali ke negeri ini sesuai harapan keluarga yang menanti... amin


24 September 2015
apa dan siapa yang akan kau salahkan? apakah menyalahkan keadaan atau seseorang akan merubah keadaan? Tidak!
Mencari kambing hitam bukanlah sifat pejuang, bagaimana ia kan bertahan dan akan bisa memperbaiki kekeliruan jika selalu melimpahkan kesalahan pada orang-orang sekitar atau situasi yang tak menguntungkan?


27 September 2015
Tak perlu ikut membenci atau menghakimi karena informasi yang belum pasti. Diamlah jika kau belum mengerti masalah yang terjadi atau bertanyalah tapi jangan hanya dari satu arah. Siapa yang tahu bahwa yang engkau hujat hari ini telah mengumpulkan jasa dan pahala yang menutupi kesalahannya. Ini bukan masalah setetes nila yang merusak susu sebelanga tapi bahwa setetes najis tidak merubah air dua kulah...

13 Oktober 2015
Karena Ia kuasa atas segala...

18 Januari 2016
Melihatnya serasa diri ini tak ada nilainya... fisik sempurna yang dipunya akankah malah mengantar ke neraka?

5 April 2016
Pernahkah kita bertanya, Apakah kegaduhan yang kita berikan akan menjadikan simpul ukhuwah terikat lebih erat dan jama'ah semakin kuat atau malah sebaliknya, menambah lebar renggang perpecahan dan munculkan prasangka yang belum tentu benar... ?
Mengerti akan kapasitas diri, jika memang kita tentara dengan pangkat yang tak kentara tak perlu bergaya layaknya panglima atau seperti jendral berbintang tiga...

===========================================================
Rangkai kata di atas merupakan kumpulan status dari akun FB “Tiada Nama (Ardhi el Mahmudi)

Friday, November 4, 2016

Menggenggam Cahaya (bag. 2)

Akhirnya ia pergi juga, kembali meninggalkan rumah yang belum lama disana ia singgah. Demi memenuhi keinginan orang tua juga demi hasratnya untuk berbakti pada keduanya. Ia coba untuk tak hiraukan segala hal yang akan menanti di hadapan. Usia yang menua, pernikahan yang tertunda dan pemasukan yang belum jelas dari mana, semua itu tak lagi ingin ia fikirkan. Yang penting kini bagaimana ia bisa sedikit membuat ayah dan bundanya tersenyum bahagia.

Maka disinilah ia, di sebuah tempat yang tiap saat terdengar suara ayat-ayat-Nya dibaca. Dari beratus lisan suara itu bersahutan yang jika didengar dari kejauhan seakan dengungan kepak sayap lebah yang berjumlah ribuan.

Tempat itu, yang hidup penghuninya diatur sedemikian rupa sejak terbukanya mata hingga mereka kembali dalam baringnya. Setiap kegiatan yang mereka lakukan selalu ditandai dengan lonceng yang dipukul berulang. Dari dentangnya mereka tahu kapan harus bangun, kapan membersihkan diri, kapan mereka makan, kapan bersiap untuk belajar, kapan mulai mengaji, dan kapan mereka berhenti untuk beristirahat. Setiap kali lonceng berbunyi maka akan tampak beratus orang yang mengenakan pakaian yang hampir serupa, -peci hitam yang selalu lekat di kepala, sarung sebagai pengganti celana dan baju lengan panjang yang tak sedikit yang jarang disetrika-, berlalu lalang, bergegas untuk melakukan aktivitas yang telah terjadwal.

Dari hari ke hari rutinitas mereka tak jauh berbeda. Bangun awal sebelum fajar, melantunkan pujian berisi nama-nama indah milik penguasa alam sembari menanti sembahyang subuh ditegakkan. Menjelang pagi, tampak antrian di depan pintu-pintu kamar mandi. Tak jarang di sela-sela mereka mengantri terdengar teriakan, "Lama kang! Ngapain di dalam? Mencurigakan." Atau "Cepetan Kang, itu mandi atau nyuci truk?" Atau "Mandinya kayak perawan Kang, luluran ya? Lama banget."

Ketika datang waktu makan maka terlihat di depan asrama lingkaran-lingkaran manusia mengelilingi sebuah nampan. Lima hingga sembilan orang bergantian mengambil suapan nasi dengan tangan telanjang. Meski seringkali makanan mereka masih mengepulkan asap, tapi itu tak mengurangi kecepatan suapan. Dan panasnya hidangan bukanlah penghalang untuk mengisi perut yang lapar.

Di lain waktu, akan terlihat mereka menyendiri di sudut-sudut lingkungan pondok dengan tangan memegang kitab suci. Bibir mereka bergerak-gerak tanpa henti, mengulang-ulang bacaan Al Qur'an dan berusaha untuk menghafalkan.

Demikian pula dengan dirinya, ia pun mengikuti alur kehidupan di lingkungan ini. Memang dia sudah terbiasa, kehidupan seperti itu sudah tak lagi asing baginya karena ia lahir dan besar di tengah-tengah tempat dengan suasana yang tak jauh berbeda.

Memang menjenuhkan, hidup terkurung di lingkungan kecil dengan kegiatan dan orang yang itu-itu saja. Namun semua tetap mereka jalani demi capaian mulia yang akan didapatkan setelah mati, itulah yang mereka yakini. Kemantapan hati yang mereka miliki untuk bertahan di tempat ini semakin menjadi ketika guru mereka, sang Kyai, selalu mendampingi dan memberi motivasi.

Kyailah yang mengingatkan mereka akan tujuan dan apa-apa yang kelak akan didapatkan di sisi Tuhan. Begitulah pula yang ia rasakan kala pertama kali datang, pesan dan nasehat pun ia dapatkan.

"Mau nyantri disini?" Tanya pak Kyai kala itu.
"Iya pak Kyai." Jawabnya
"Mau menghafalkan Al Qur'an?" Tanya beliau lagi. Dan ia kembali menjawab, "Iya pak Kyai."
"Alhamdulillah, alhamdulillah kalau sampeyan mau menghafal Al Qur'an. Disyukuri ya Kang, karena tidak semua orang mendapat kesempatan. Tidak setiap orang dibukakan hatinya dan dimudahkan untuk mau menempuh jalan Al Qur'an. Allah sudah membukakan jalan pada sampeyan untuk menjadi salah satu Ahlullah, keluarga Allah di muka bumi, tinggal sampeyan mau bersungguh-sungguh atau tidak. Sudah siap nyantri disini kan?"
"Insya Allah sudah pak Kyai."
"Kalau memang sudah siap ada beberapa hal yang mesti sampeyan perhatikan Kang sebelum menghafal Al Qur'an." Ia mulai menajamkan telinga, bersiap menerima petuah pertamanya.
"Yang pertama, niat yang ikhlas. Luruskan niat dulu, bukan karena siapa-siapa dan bukan karena apa-apa tapi cuma mengharap ridho-Nya dan kemuliaan di sisi-Nya. Agar nanti amal yang dilakukan tidak sia-sia. Yang kedua, ada guru yang membimbingmu. Tanpa guru kita tidak akan tahu sudah benar atau belum bacaan dan hafalan kita. Yang ketiga, susunlah jadwal. Kapan sampeyan harus menghafal, kapan mengulang hafalan, kapan istirahat. Harus ada kejelasan pembagian waktu sehingga ada keteraturan agar waktu yang ada tidak terbuang percuma. Yang keempat, istiqomah. Istiqomah dalam menetapi jadwal yang sudah sampeyan susun sebelumnya. Dan yang kelima, ini yang terakhir. Sabar, karena menghafal Al Qur'an membutuhkan waktu yang panjang, tidak sekedar sehari dua hari. Dan tentunya nanti dalam prosesnya tidak seterusnya lancar pasti akan ada cobaan yang datang."

Dia menganguk-menganguk mendengar tuturan itu. dan menyahut "Mohon doa restunya pak Kyai semoga bisa berhasil."
"Iya, Semoga kamu nanti dimudahkan dan diberi kelancaran." Sahut sang Kyai.

* * *

Ia pun mulai mencoba melekatkan dalam benak ayat demi ayat dari firman Ilahi. Memindahkan dari bentuk tulisan yang bisa dipandang ke dalam hati dan ingatan.

Pikirnya di awal mula, waktu dua tahun cukup untuk menuntaskan semua yang sekarang ia jalani dan keinginan kedua orang tuanya pun akan segera terpenuhi. Hitungnya, kitab Al Qur'an yang dicetak biasanya terdiri dari kurang lebih 600-an halaman. Sedangkan satu tahun terdiri dari 360 hari. Jika sehari dia mampu menghafal satu halaman maka dalam jangka waktu kurang dari dua tahun semua telah tuntas dihafalkannya. Lagi pula dia percaya dengan kemampuan akal yang dianugerahkan Tuhan padanya. Menghafal sudah menjadi kebiasaannya sejak usia muda. Prestasi demi prestasi juga ia torehkan pada tiap jenjang pendidikannya. Guru-gurunya memuji kecerdasan dan mudahnya ia memahami segala yang ia terima. Tentunya jika hanya menghafal selembar sehari tanpa aktifitas lain yang mengganggu dia pasti mampu.

Namun, terkadang segala rencana dan hasrat seseorang tidak seiring dengan kenyataan yang ada di hadapan. Tak selalu sama antara apa yang dikehendaki dengan hasil akhir yang dihadapi.

================================================================
Kudus, Agustus 2015
Bersambung

Baca : Menggenggam Cahaya (bag. 1)

Tuesday, November 1, 2016

Serpih Kata di Sela Masa 14

9 Januari 2014
Wahai saudariku seiman, jangan nodai hijab itu dgn nilai-nilai yang jauh dari ajaran, karena di belahan bumi lainnya para wanitanya butuh perjuangan ketika ingin mengenakan...

12 Januari 2014
Wahai diri, apa kan kau lupa pelajaran pertama yang kau terima saat melingkar bersama? Tentang segitiga cinta. Cinta pada sang pencipta penguasa semesta, cinta pada Muhammad sebagai utusan Yang Kuasa dan cinta Islam sebagai agama yg kau rindukan tegaknya? Namun kini, apakah kau sadari kemana cintamu berlari?

14 Januari 2014
Ketika sesuatu tertunda kadang bukan karena kemauan kita, kecewa sewajarnya saja dan coba nikmati kesempatan yang tak biasa. Anggap saja sebagai istirahat di kala jeda...

15 Januari 2014
Jika ia tak juga hilang dari ingatan maka mintalah pada yang Maha Besar untuk menghapus bayang yang ada dalam pikiran. Bukankah ada yang lebih penting untuk diperhatikan? Yang lebih bisa memberi kepastian dalam kebaikan? Yang lebih menjanjikan balasan yang tak berkesudahan ...

17 Januari 2014
Mendekat... Mendekat... Semoga Ia membuat diri lebih kuat dalam menghadapi coba yg terasa berat...

19 Januari 2014
Asa itu selalu ada, tinggal diri kita mau atau tidak menjaga nyalanya. Bukankah masih ada Yang Esa? Bukankah hanya pada-Nya bermuara segala harap dan pinta. Maka, wahai diri, tak ada alasan utk berhenti memupuk asa di hati hingga keputusan Ilahi terjadi...

21 Januari 2014
Kata yang telah terlontar seringkali akan timbulkan sesalan karena tanpa berpikir panjang. Sekedar kata maaf mungkin tak akan cukup menghapus luka karena sepatah kata. Namun tetap akan kukatakan, maafkan diri ini yang telah lontarkan kata yang sakitkan hati....

30 Januari 2014
Kadang tak mengerti sebab kenapa ada resah di hati. Kemudian sibuk mencari demi sebuah solusi. Tapi tanpa sadar masa pun terbuang hanya untuk menelusuri hal yg tak pasti. Ada kalanya perlu untuk tak peduli pada tanya "kenapa?" kemudian terus berjalan menuju tujuan, seiring waktu yg berlalu resah pun tak kan bertahan....

30 Januari 2014
Apa ku harus kembali ke tempurung lamaku? kemudian berdiam mencoba buta dan menutup gendang telinga. Karena rupa dunia yang butuh sabar tanpa purna dalam menghadapinya. Selalu ingin lari menghindari, selalu ingin pergi atau berhenti. Tapi jika itu pilihanku, aku takkan pernah sampai pada tempat yg kutuju...

30 Januari 2014
Tak perlu menghujat, janganlah disalahkan, tak kita salahkan pun ia telah buat kesalahan. Apa dengan hujatan dan cemoohan bisa membuat ia kembali beriman? Sungguh dalam beragama tak ada paksaan, seharusnya kita kasihani, karena iman telah tercabut dari hati dan lebih memilih kesengsaraan abadi setelah mati. doakan saja dia agar bisa kembali menikmati manisnya hidayah di sanubari. dan bersyukurlah karena bukan kita yang diberi coba berkenaan dengan ingkar keluar dari islam ....

1 April 2014
Kau kah orangnya, bagian dari para pemburu surga yang bersedia menjadi otak, hati, dan tulang punggung bagi indonesia?! Tak kah kau bersedia?

8 Juni 2014
Tanpa kau minta pun, aku akan tetap berusaha. Tanpa kau ingatkan pun, aku akan tetap tuntaskan. Tak undur karna cela, tak patah karna lara. Laju langkah tak kan reda, karena yakin di ujung gelap kan ada cahaya

10 Juni 2014
Wahai diri, bagaimana kau kan memberi terang pada sekitar sedang engkau masih saja tenggelam dalam kegelapan?

6 Agustus 2014
Jalan memang tak selalu lurus. Meluruskan jalan yang berkelok-kelok? Mustahil. Kadang jalan dibangun berkelok untuk memudahkan mencapai tujuan. Pernah mencapai puncak bukit atau gunung dengan jalan lurus? Kerasnya suara palu dipukul di atas paku tentu lebih mengganggu dari pada putaran obeng saat memasang sekrup ... nikmati saja kelokannya karena itu niscaya... asal hati dan amal tak bercabang dan menyimpang dari kebenaran....

6 Agustus 2014
Mudah kita berkata "jalani saja", "sabar", "nikmatilah" atau "tetaplah bertahan", ketika seseorang tumpahkan keluhan, sedang kita dalam kelapangan dan belum pernah alami sendiri apa yang terjadi. Menjadi sosok sok tahu dan seolah mengerti padahal belum tentu kita sekuat mereka ketika menghadapi hal yang sama....
Menjadi sosok tahu diri yang tidak menggurui, memberi semangat tanpa memposisikan diri lebih tinggi, semoga kita bisa...

7 Agustus 2014
Karena tidak selalu yang berlaku seperti inginmu... Karena tidak selama yg kita cita kan tergenggam sempurna...
Kelapangan hati dan yakin bahwa yang dialami adalah yg terbaik bagi diri, semoga senantiasa dimiliki...

8 Agustus 2014
Wahai diri...
Sampai kapan kan kau biarkan dirimu dalam kubang kehinaan?
Dengan tak perhatikan keadaan jiwa yang selalu berteman kealpaan.
Tak juga malu ketika izzah diri tak nampak lagi.
Pedulimu pun hilang saat perhatikan segala keburukan.
Tak juga terbersit iri ketika orang-orang berlari mendahului dalam menggapai ridho Ilahi.
Pekamu sirna, banggamu akan agama pun tak lagi ada, ghirah juga tiada getarnya...
Apa kau telah memilih panasnya neraka?

9 Agustus 2014
Dan kumelihat di antara mereka ketika gagal mendapatkan sesuai kemauan atau tak bersanding dengan sosok yang didambakan, mereka dianugerahi oleh Ilahi lebih dari yang diingini....

8 September 2014
Dia pengasih dan penyayang. Dia yang memenuhi segala harapan dan mengganti setiap yang hilang. Dia berkehendak atas segala yang ada tapi tak pernah menzhalimi hamba-hamba-Nya. Dia muara segala pinta, cita dan asa... Dia Yang Maha Esa... tak ada tandingan, tak ada sekutu yang disandingkan... seruan nama-Nya senantiasa berkumandang... Allahu akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar....!

30 September 2014
wahai diri... bukankah pintu-Nya senantiasa terbuka, sebelum regang nyawa yang entah kapan datangnya... apa masih akan menunda?

23 Oktober 2014
jangan bersedih,
karena kau pun punyai nilai lebih...

27 Oktober 2014
Jangan kecewa, kau tetap istimewa. Tak perlu risaukan strata, gelar di belakang nama atau kau anak siapa untuk berlomba dan mempersembahkan yang dipunya. Karena setiap ciptaan punya peran dan kesempatan yang sama di sisi Yang Maha

1 November 2014
Allah tahu yang terbersit di dalam hatimu. Lebih-lebih segala yang kau lakukan dan utarakan, Dia menyaksikan!

3 November 2014
Tidak selamanya, usia terbatas jumlahnya, pasti alami regang nyawa dan kembali pada-Nya. Sudahkah sedia?

15 November 2014
alhamdulillah... segala puji hanya milik-Mu! terima kasih wahai penguasa semesta atas karunia yang Engkau anugerahkan kepada hamba, meski butuh sekian masa akhirnya satu lagi anak tangga cita telah tertapak sempurna...
terima kasih wahai Yang Maha Besar, atas kesabaran, keteguhan dan kekuatan yang Engkau karuniakan hingga ku tak henti di tengah jalan, tak berpaling dari cita yang ingin kutuntaskan... terima kasih ... terima kasih wahai Ilahi ... telah memberi nikmat ini...

16 November 2014
Mengenalmu, membuatku belajar untuk tak memaksamu menjadi seperti inginku. Yang kulakukan, terus berusaha memahami dan bersabar melihatmu berkembang dengen segala minat yeng kau inginkan...

27 November 2014
Akan ada pilihan yang kadang membingungkan, ada kesenangan yang ditinggalkan, ada keinginan yg ditangguhkan dan ada hal yang dikorbankan! Ketika ada banyak goda, akankah bisa tuk tak palingkan mata dari cita?

===========================================================
Rangkai kata di atas merupakan kumpulan status dari akun FB “Tiada Nama (Ardhi el Mahmudi)

Saturday, October 29, 2016

Garis Manusia Tidak Sama

Kadang muncul angan-angan
kalaupun waktu bisa diulang
aku ingin menempuh jalan kalian
jikalau kubisa kembali ke masa silam
ku akan tetap ada dalam lingkaran
dan menyerap semua aura yang kalian tebar
jua menikmati setiap mili sentuhan di hati

Namun aku tak pernah tahu masa depan itu
atau esok hari yang kan kulalui
yang kumengerti hanya berusaha mencari
sesuatu yang lebih berarti
menuruti kata sanubari yang kurasa
baik bagi diri

Jikalau sekarang telah kusaksikan
keterbelakangan dan ketertinggalan yang kugenggam
dan hanya bisa memandangi kalian yang jauh di depan
Aku akan tetap sunggingkan senyuman
Meski terbersit kecewa karena
aku tak bisa membuat bangga
atau mendapat capaian
yang layak dipandang manusia
aku tetap berusaha bahagia

sebab tak setiap insan diberi kesempatan
untuk berjalan di atas keinginan
atau berlaku tanpa paksaan
dan tidak sekedar mengikuti arus kata orang

Jogja, 28 Oktober 2016. 22.50

Thursday, October 27, 2016

Menggenggam Cahaya (bag.1)

Menggenggam Cahaya 
~Bagian 1~


Dilema, sepertinya kata itu selalu lekat dalam kehidupannya. Layaknya menghadapi simalakama, buah legenda. Menunjukkan pilihan yang sama-sama membuat derita.Dimakan, bapak meninggal. Tidak dimakan, ibu yang nyawanya meregang.

Seperti kini yang sedang ia hadapi. Jika ia memilih bertahan maka akan ada hati-hati yang tersakiti dan akan ada sosok yang menanti dalam rentang masa yang tak pasti. Tapi jika ia meninggalkan apa yang sedang ia jalani, maka ia menjelma menjadi sosok durhaka yang tak memperhatikan keinginan orang tua.

Semua bermula saat ia pulang dari perantauannya mengejar gelar sarjana. Beberapa tahun yang lalu, ia berkumpul di ruang keluarga bersama dengan ayah dan bundanya. Awalnya mereka berbincang ringan, kemudian berlanjut pada hal-hal yang terasa dalam.

Seperti orang tua kebanyakan yang ingin tahu bahwa anaknya punya bayangan masa depan agar nanti keduanya tidak mengkhawatirkan dan bisa memberi dukungan pada anak tersayang. Hingga kelak sang anak punya kehidupan yang wajar dan layak.

Demikian pula dengan orang tuanya yang bertanya apa yang akan ia lakukan setelah ini. Ia pun coba utarakan apa yang ia inginkan. "Saya ingin konsentrasi merintis usaha dulu, menjadi pengusaha kemudian setelah itu menikah dan melanjutkan S2."katanya kala itu.  

Ia lihat ayah dan bundanya diam saja. Ia mengira diam mereka berarti menyetujui dan mendukung semua yang ia tuturkan. Tapi saat tuturannya berakhir tampak ayahnya menghela nafas pelan dan memperbaiki posisi duduknya. Gelagat yang sudah biasa ia lihat ketika beliau hendak memberi sebuah pendapat atau nasehat yang bertentangan dengan keinginan anak-anaknya.

"Nak..." kata ayahnya, sapaan halus itu membuatnya merasa ada sesuatu.
"Abah anggap kamu sudah besar, sudah dewasa. Lagi pula kamu sudah sarjana juga sudah berkeliling jawa, nyantri ke beberapa kyai. Kira-kira menurutmu, apa bekalmu sudah cukup untuk meneruskan perjuangan Abah?"
Dia diam, mencoba meraba kemana arah pembicaraan yang ayahnya inginkan.

"Memang setiap orang bisa menjadi apa saja, boleh apa saja. Abah juga tidak menghalangi anak-anak Abah bercita-cita, bercita-cita apa saja. Asal itu dalam kebaikan dan tidak bertentangan dengan ilmu-ilmu yang kamu dapatkan di pesantren-pesantren yang dulu pernah kamu tinggali."

"Boleh-boleh saja kamu jadi pengusaha, Abah dan Ummimu tetap mendukung tapi Abah dan Ummimu juga punya rencana dan keinginan, itu pun kalau kamu berkenan mengabulkan keinginan Abah dan Ummi."

Sejenak ruangan itu dalam keheningan, ia tak tahu hendak berkata apa. Yang ia tahu lebih baik diam dan mendengarkan semua tuturan yang disampaikan. Suasana ini tak seperti biasa yang ia rasa, tak akan dia bantah atau mengejar dengan berlusin kata tanya "kenapa". Karena sebelumnya tak pernah ayah dan ibundanya mengutarakan keinginan dengan cara seperti ini, seakan kali ini keduanya sedang memohon padanya.

"Abah dan Ummi sudah tua, sudah tidak sekuat dulu. Harapan Abah dan Ummi tinggal kamu. Masmu sudah diminta untuk membantu di pesantren mertuanya. Mbak-mbakmu juga sudah ikut suami mereka. Kalau bukan kamu siapa lagi yang akan menghidupkan tempat ini?"

Jelaslah kini apa yang dikehendaki orang tuanya. Mereka ingin dia tinggal dan meneruskan langkah perjuangan yang telah dirintis oleh leluhurnya. Sebuah pesantren warisan kakeknya telah menanti kiprahnya. Dia memang belum sempat berpikir ke arah sana tapi telah menjadi niatnya pula muara akhir nanti adalah kembali ke rumah, merawat kedua orang tuanya dan mengembangkan apa yang telah dirintis oleh keduanya.

"Insya Allah Abah, saya tetap akan pulang dan siap membantu mengembangkan pesantren."

Ayahnya tampak menganguk-anguk mendengar perkataannya. "Tapi saya hanya ingin mencoba bagaimana nanti bisa mandiri secara finansial sehingga tidak menggantungkan pemasukan dari gaji mengajar dari yayasan yang Abah dirikan atau dari proposal-proposal sumbangan, makanya saya ingin jadi pengusaha yang sukses. Sedangkan untuk gelar S2 itu juga tidak lepas dari perkembangan zaman. Pesantren kita kan sudah merambah ke pendidikan formal, jadi saya kira butuh cara-cara baru untuk mengembangkannya. Di samping juga orang zaman sekarang lebih melihat gelar pendidikan dari pada repot-repot meneliti keahlian seseorang yang tak punya titel di belakang namanya." Panjang lebar ia coba jelaskan tentang jalan pilihan yang hendak ia lalui.

"Begitu ya hmm, Abah paham. Tapi tiba-tiba Abah ingin sebelum Abah meninggal ada satu putera Abah yang hafal Al Qur’an. Abah ingin kelak bisa mendapat kiriman bacaan Al Qur’an dari anak Abah yang hafidz. Itu pun kalau kamu mau meluangkan waktu untuk nyantri lagi."

Kembali ia terdiam agak lama. Tak terpikir sebelumnya untuk menghafalkan kitab suci yang lumayan tebal itu meskipun ia tahu keutamaan-keutamaan dan hal-hal yang dijanjikan Tuhan bagi para penghafal al Qur’an. Apa lagi kalau dia harus pergi lagi dari rumah, kembali ke lingkungan baru yang asing, kembali ke bilik-bilik pesantren sedang sedari kecil dia tak pernah lepas dari lingkungan itu. Karenanya kadang dia merasa jenuh dan menginginkan hal baru, hal yang berbeda dan tidak melulu berjumpa dengan budaya kaum bersarung.

Selepas sekolah dasar hingga selesai Madrasah Aliyah ia sudah jauh dari rumah. Kuliah S1nya pun ia tunda demi mendalami agama di pesantren-pesantren tradisional yang masih menerapkan gaya klasik dalam mengajarkan kitab-kitab berbahasa arab. Maka dari itu di usianya yang ke 25 dia baru menselesaikan program sarjana. Kalau dia harus kembali ke pesantren lagi dan menjadi santri tentu beban mentalnya berbeda, lebih-lebih jika ia harus berkumpul dan belajar di kelas yang sama dengan santri yang jauh lebih muda darinya, tak terbayangkan bagaimana ia akan bersikap. Gengsinya tumbuh untuk memulai hal baru di tempat dan keadaan semacam itu.

Tapi di sisi lain dia juga tak ingin mengecewakan kedua orang tuanya. Sedari dulu keduanya selalu memenuhi pintanya. Orang tuanya juga tak pernah menyuruh sesuatu kecuali untuk kebaikan masa depan dirinya. Dan kini ketika mereka meminta satu hal padanya apakah bisa dikatakan berbakti jika ia tak memenuhi?

"Atau begini saja..." Ibundanya yang sedari tadi hanya mengikuti pembicaraan mulai urun suara. "Bagaimana jika rencanamu untuk merintis usaha ditunda sebentar, nanti setelah kamu menghafal Al Qur’an langsung menikah saja. Untuk urusan nafkah toh kita juga punya sawah yang ada bagianmu. Juga ada toko di pesantren yang nanti bisa dikembangkan bersama istrimu." lanjutnya.

"Begitu juga bagus." Ayahnya ikut menimpali
"Jadi kamu tidak perlu khawatir dengan urusan penghasilan selama kamu menghafal Al Qur’an, tapi Abah dan Ummimu tidak memaksa, semua keputusan ada padamu. Kalau kamu nyantri lagi, mau menghafal Al Qur’an dan jadi hafidz Abah seneng, Ummimu juga seneng. Tapi kalau tidak ya tidak apa-apa. Abah dan Ummimu tetep seneng, yang penting kamu jadi anak sholeh."

Abahnya tetap tersenyum saat mengatakan itu, tampak ketulusan disana. Tak memaksa, demi kebahagiaan sang putra. Hatinya terasa basah mendapati hal itu.
"Ah, betapa benar kata sebuah ungkapan, kasih orang tua sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Mereka merawat sang anak demi mengharap kehidupan, sedang sang anak merawat keduanya demi menanti kematian."

Dalam bimbang dan keraguan, antara menuruti keinginan kedua orang tua atau keinginannya sendiri ia coba menimbang segala kemungkinan. Seharusnya ia tak perlu ragu, bukankah tak selamanya dia bisa bersama kedua orang tuanya, kapan lagi ia bisa membuat keduanya bahagia. Jika di dunia tak ada lagi kesempatan dan tak ingin menyesal di hari depan karena tak sempat membahagiakan maka sekaranglah saatnya untuk sedikit membalas kebaikan yang telah ia terima. Tak ada ruginya dia mengikuti permintaan orang tua, lebih-lebih dia tahu yang diinginkan orang tuanya adalah kebaikan. Tak ada alasan untuk menolak dan mengelak, apa lagi jika hanya mengikuti keegoisan diri, jika demikian sungguh lakunya tak terpuji. 

"Bagaimana?" Tanya ibundanya meminta kepastian. Dan tanpa ragu ia pun menganguk patuh sembari berkata, "Iya, saya akan melakukannya."

============================
Kudus, Agustus 2015
Bersambung.....