Thursday, November 26, 2009

Ukhti, Kamu Cantik Sekali

Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi hanya di mata manusia. Sedangkan yang Maha Kuasa tak pernah memandang rupa atau pun bentuk tubuh kita. Namun Ia melihat pada hati dan amal-amal yang dilakukan hamba-Nya.

Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi cantik fisik tak akan pernah abadi. Saat ini para pesolek bisa berbangga dengan kemolekan wajah ataupun bentuk tubuhnya. Namun beberapa saat nanti, saat wajah telah keriput, rambut pun kusut dan berubah warna putih semua, tubuh tak lagi tegak, membungkuk termakan usia, tak akan ada lagi yang bisa dibanggakan. Lebih-lebih jika telah memasuki liang lahat, tentu tak akan ada manusia yang mau mendekat.

Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi kecantikan hanyalah pemberian dan untuk apa dibangga-banggakan? Sepantasnya kecantikan disyukuri dengan cara yang benar. Mensyukuri kecantikan bukanlah dengan cara memamerkan, memajang gambar atau mengikuti bermacam ajang lomba guna membandingkan rupa, sedangkan hakekatnya wajah itu bukan miliknya.
Tidakkah engkau jengah bila banyak mata lelaki ajnabi yang memandangi berhari-hari? Tidakkah engkau malu ketika wajahmu dinikmati tanpa permisi karena engkau sendiri yang memajang tanpa sungkan. Ataukah rasa malu itu telah punah, musnah? Betapa sayangnya jika demikian sedangkan ia sebagian dari keimanan.

Ukhti, kamu cantik sekali
Tapi apa manfaat pujian dan kekaguman seseorang? Adakah ia akan menambah pahala dari-Nya? Adakah derajatmu akan meninggi di sisi Ilahi setelah dipuji? Tak ada yang menjamin wahai ukhti. Mungkin malah sebaliknya, wajah cantik itu menjadikanmu tak punya harga di hadapan-Nya, karena kamu tak mampu memelihara sesuai dengan ketentuan-Nya.

Ukhti, kamu cantik sekali
Kecantikan itu harta berharga, bukan barang murah yang bisa dinikmati dengan mudah. Dimana nilainya jika setiap mata begitu leluasa memandang cantiknya rupa. Dimana harganya jika kecantikan telah diumbar, dipajang dengan ringan tanpa sungkan. Dimana kehormatan sebagai hamba tuhan jika setiap orang, baik ia seorang kafir, musyrik atau munafik begitu mudah menikmati wajah para muslimah?

Ukhti, kamu cantik sekali
Alangkah indah jika kecantikan fisik itu dipadu dengan kecantikan hatimu. Apalah arti cantik rupawan bila tak memiliki keimanan. Apalah guna tubuh molek memikat bila tak ada rasa malu yang lekat. Cantikkan dirimu dengan cahaya-Nya. Cahaya yang bersinar dari hati benderang penuh keimanan. Hati yang taat senantiasa patuh pada syariat. Hati yang taqwa, yang selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hati yang sederhana, yang tak berlebihan dalam segala urusan dunia.

Ukhti, kamu cantik sekali
Maka tampillah cantik di hadapan penciptamu karena itu lebih berarti dari pada menampilkan kecantikan pada manusia yang bukan muhrimmu
Tampillah cantik di hadapan suamimu, karena itu adalah bagian dari jihadmu. Mengabdi pada manusia yang kamu kasihi demi keridhoan Ilahi.
Tampillah cantik, cantik iman, cantik batin, cantik hati, karena itu lebih abadi.

Monday, November 16, 2009

Apresiasi Cerpen "Ta'aruf Titi"

Oleh: El Herlian Ardivia*


1. Judul: Ta’aruf Titi

Judulnya tidak “eye catching’. Terkesan sangat biasa dan kurang persuasif.
Judul yang terlampau umum dan sederhana, bisa mengurangi minat pembaca untuk mengikuti alur cerita dari awal sampai akhir.

Judul itu daya jual pertama yg ampuh mempengaruhi ketertarikan pembaca, jadi memang harus dipilih dengan sebaik-baiknya dengan memakai diksi yang kuat dan tepat.

Beda dengan: “aku kehilangan dia dua kali” (membuat pembaca penasaran, karena hanya dengan membaca judul, kadang sudah timbul pertanyaan dalam benak hati)

Atau coba bedakan dengan judul-judul cerpen dibawah ini:
1 Aku, liebestraum, dan cinta itu
2. Jaring- jaring merah
3. Lebaran di karet-karet
4. Burung kolibri merah dadu
5. Nyanyi sunyi seorang bisu

2. Kata Asing

Di dalam cerpen ini banyak mempergunakan kata asing (bahasa arab dan jawa), tetapi tidak disebutkan keterangan arti kata-kata asing tersebut. Tidak semua pembaca mengerti bahasa asing yang penulis gunakan, jadi sewarjanya ditulis keterangan kata atau istilah-istilah yang digunakan dibawah cerpen. Semacam catatan kaki.
El menemukan:
Bahasa arab:

  1. Ta’aruf

  2. Ukh (ukhti)

  3. Anti

  4. Ente (antum)

  5. Akh (akhi)

  6. I’dad

  7. Syukran


Bahasa jawa:

  1. Nduk

  2. Mosok

  3. Ndak

  4. Sampeyan


Istilah asing:

  1. Mahdzab

  2. Harokah

  3. Nasab

  4. Jama’ah


3. Penceritaan

Ceritanya mengalir lancar. Bahasanya padat dan jelas. Hanya saja sangat sederhana. Terkesan begitu klise. Pembaca hanya membaca, dan selesai begitu saja. Tidak ada sesuatu yang meninggalkan kesan. Emosi pembaca tidak pernah dilibatkan. Pembaca hanya berekspresi biasa saja. Tidak kagum, tidak terharu, tidak tersenyum, atau bahkan tidak menangis. Tidak bisa menimbulkan kesan mendalam yang akan selalu diingat dibenak pembaca, meski mungkin telah berhari-hari lalu membaca ceritanya.

Eksplorasi alur cerita kurang detail dan matang. Begitu juga dengan tokoh dan penokohan yang begitu sederhana.
Ta’aruf memang proses yang biasa, tetapi dengan imajinasi penulis tentunya akan bisa mengemas cerita ta’aruf menjadi sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang bisa membuat pembaca menjadi cerdas dan memperoleh pencerahan.
Gitu di =)

Di, artikel-artikelmu itu lebih bagus dari cerpen ini lho.
Kenapa? karena bisa membuat kita berpikir, belajar, dan tercerahkan.
Bisa mengusik nalar dan nurani kita yang paling dalam. Hingga ada kesan yg tertinggal di memori dan membuat kita ingin urun ngomong (yg berarti sebuah bentuk apresiasi).
Segini saja Di. Makasih. Semoga bermanfaat. =)

 



*El Herlian Ardivia, saat artikel ini diunggah masih tercatat sebagai mahasiswi tingkat akhir FSSR UNS Surakarta

Ta’aruf Titi

Oleh: Ardhi el Mahmudi



Hari-hari terakhir ini Titi selalu tampak ceria. Senyuman begitu sering menghiasi bibirnya. Binar matanya menambah kesan rasa senang yang tidak bisa disembunyikan. “Tinggal besok, insya Allah.” Demikian gumamnya berulang-ulang. Esok hari seorang pemuda akan datang, pemuda yang ia tahu cukup baik agama dan nasabnya. Setelah beberapa proses melalui guru ngajinya, tukar- menukar biodata dan saling bertanya tentang kehidupan masing-masing -sebagai sebuah penjajakan sebelum melangkah ke jenjang berikutnya, proses ta’aruf itu pun hampir mendekati akhir. Pemuda itu akan datang ke rumahnya, bertemu dengan ibu dan saudara-saudaranya. Tentu saja untuk memperkenalkan diri dan mungkin juga meminta izin untuk menjadi bagian dari keluarga kecilnya.


“Kamu sudah ngabari masmu nduk?” Tanya ibunya, memecah kebisuan siang itu.


“Sudah bu, insya Allah besok mas Yus datang agak siang.” Sahut Titi.


“Dengan Isna juga kan?”


“Ya iya, mosok mbak Isna ditinggal sendiri.”


“Lha si Har sudah kamu kabari juga?”
Titi terdiam saat mendengar nama Har disebut, ada semburat mendung gelisah di wajahnya.


“Kenapa? Apa ndak kamu kabari?


“Belum bu, nanti saja kalau sudah pasti khitbahnya”


Ibu hanya memandang Titi sekilas dan tersenyum tipis, “Ya sudah kalau begitu, terserah kamu.” ujarnya kemudian.


Titi menghela nafas lega, ia tahu ibu pasti mengerti dengan keputusannya untuk menunda mengabari mas Har. Besok adalah ta’aruf Titi yang keempat kalinya. Dan ia sungguh ingin ta’aruf kali ini berakhir baik, berlanjut dengan khitbah dan kemudian menikah. Tidak seperti ta’aruf-ta’aruf yang lalu, yang selalu berakhir gagal setelah proses yang panjang. Hatinya masih pedih ketika mengingat hal itu, saat tiga lelaki membatalkan rencana untuk melamarnya, tentu saja dengan bermacam-macam alasan. Dan semua penyebab pembatalan itu dipicu oleh kakaknya yang nomor dua. Meskipun tidak secara langsung tetap saja bagi Titi mas Har adalah sumber semuanya.


Lelaki pertama adalah teman Titi di organisasi kampus. Titi tahu betul pemuda ini adalah sosok idealis, jabatan penting pernah diamanahkan kepadanya dan ia bisa disebut aktivis tulen, namanya Wahyu. Awalnya proses ta’aruf berlangsung lancar-lancar saja dan mereka sama-sama cocok.


Hingga pada saat bertandang ke rumah, Wahyu tampak terkejut melihat penampilan mas Har yang “tidak biasa”, gamis putih panjang selutut di padu dengan celana longgar yang menggantung di atas mata kaki. Tak lupa kopyah haji seakan telah lekat di kepala. Setelah berbincang-bincang dan bertukar pikiran dengan mas Har tampaknya Wahyu telah membuat sebuah kesimpulan bahwa ia berbeda dengan orang yang ada di hadapannya.


Tak lama kemudian dengan alasan tidak siap menghadapi perbenturan antar harokah, perbedaan madzhab dan jamaah, ia pun berpaling. “Picik.”Demikian anggapan Titi saat mendengar alasan Wahyu, apa dia kira jama’ahnya yang paling benar? Apa ia kira jama’ahnya bisa menegakkan islam tanpa adanya bantuan dari jama’ah yang lain, bukankah perbedaan itu sebuah keniscayaan, dan dia begitu pengecutnya lari dari sebuah kenyataan bahwa perbedaan itu pasti ada.


Pemuda kedua melakukan hal yang sama dengan yang pertama, membatalkan rencana khitbahnya tapi dengan alasan yang berbeda. Dia memang tidak sefanatik ikhwan pertama, ia juga bukan seorang aktivis organisasi yang sibuk atau diamanahi posisi penting. Dari biodata yang Titi terima, Titi mengerti pemuda bernama Irwan ini di kancah organisasi memang tak begitu tampak, biasa-biasa saja tapi di bidang akademis tak ada yang mengalahkannya. Berbagai lomba ilmiah ia menangi sejak usia SD hingga kuliah, pernah pula mengikuti pertukaran pelajar  tak heran bahasa asingnya mengalir seperti bahasa ibunya sendiri. Singkatnya di mata Titi dia sosok yang lurus dan cerdas, dan siapa yang akan menolak jika dipinang olehnya.


Dan  ketika Irwan bertandang ke rumahnya lagi-lagi sesuatu terjadi, awalnya obrolan begitu hidup, hangat dan tampak akrab. Dia datang sendiri dan begitu mudah mengambil hati orang-orang di rumahnya.


“Wah, dapat adik cerdas nih.”celetuk mas Har waktu itu dan disambut senyum tipisnya.


“Katanya pernah keluar negeri juga ya?” Tanya mas Yus.


“Alhamdulillah, iya mas”


“Bisa bagi-bagi cerita? Pengalaman selama disana, kulturnya mungkin, atau bagaimana perkembangan umat islamnya?” Dan mengalirlah ceritanya, dengan bahasa santun dan tidak terdengar nada menyombongkan diri, malah dia cenderung merendah. Ada satu nilai tambah yang di catat Titi, ketawadhuan.


“Ngomong-ngomong hafalannya berapa juz akh? pasti sudah banyak ya?” Tanya mas Har tiba-tiba.


“Nggak banyak kok mas, belum mulai ngapalin.”


“Tapi biasanya mahasiswa itu hafal juz 30 dan 29, iya kan?” kejar Mas Har


“Kalau saya belum kok mas”


“Walah, ndak usah merendah gitu, wong sampeyan ini pinter kok, pasti sudah hafal banyak” Mas Har menimpali lagi, masih dengan senyum.


Dan tiba-tiba saja sikap Irwan berubah, tampak tidak tenang dan pembicaraan pun mulai kaku. Ta’aruf hari itu pun berakhir tanpa kepastian.


Beberapa hari berikutnya Titi menerima pesan dari guru ngajinya bahwa Irwan membatalkan semuanya. “Maaf ukh, mungkin memang anti terlalu sempurna untuk saya, hafalan Qur’an saya masih bolong-bolong dan saya merasa tidak pantas mendampingi adik seorang hafidz qur’an.” demikian bunyi pesan Irwan di secarik kertas yg diberikan padanya. Lagi, hati Titi perih, saat itu berulang-ulang ia menggumamkan, “Jodoh itu rizki, jodoh itu rizki, laa haula wa laa quwwata illa billah”


Ikhwan ketiga juga seorang aktivis dakwah, spesialisasinya demo! Untuk masalah aksi turun ke jalan dia nomor satu. Zaenal nama pemuda itu, adalah seorang orator ulung dan pasti langganan menjadi korlap saat para mahasiswa di kampusnya turun ke jalan. Kata teman-teman Titi, pemuda ini mempunyai kepekaan dan jiwa sosial yang tinggi.


Dan lagi-lagi ketika Zaenal bertandang ke rumah, mas Har membuka obrolan. Kali ini tentang kondisi umat islam yang terus ditekan. Tentu saja dia langsung nyambung, karena memang itu kesukaannya. Obrolan mulai merembet ke masalah demonstrasi yang dilakukan elemen-elemen umat islam.


“Katanya ente aktivis demo ya akh?”tanya mas Har dengan nada canda.  Zaenal menganguk sopan sambil tersenyum.


“Apa tidak capek akh, panas-panas. Terus jalannya jauh?” Mas Yus ikut menimpali.


“Alhamdulillah mas, lha mau bagaimana lagi, bisanya baru menggalang dana dan ikut demo, belum bisa berbuat banyak”


“Ya, kita memang belum bisa berbuat banyak. Tapi kan harus tetap bersiap-siap.” Kata Mas Har.


“Iya mas, memang harus i’dad sebelum jihad.” Timpalnya.


“Ngomong-ngomong, akhi Zaenal belajar bela diri apa nih untuk persiapan jihad?”


“Eh, gimana mas?” Sepertinya Zaenal tidak siap dengan pertanyaan itu.


“Belajar bela diri apa?” ulang mas Har.


“Mmm anu mas, belum mulai.”


“Tapi olahraganya rutin kan”


“Ehm, ya begitulah.” Nadanya ragu, dan sepertinya sikap Zaenal juga berubah seperti sikap Irwan saat ditanya tentang hafalan Qur’annya. Ya, dia memang jarang olahraga, malah hampir tidak pernah. Lalu kenapa selalu kuat untuk ikut demonstrasi? Wajar saja kuat, karena dia tidak pernah ikut jalan kaki. Dia lebih sering numpang di mobil bak terbuka, memegang mic atau megaphone dan berteriak-teriak memimpin yel-yel, dan membakar semangat para demonstran.


Seperti yang sudah-sudah, Zaenal pun mundur teratur, menyadari kekurangan diri. Bidadari yang ia damba memang dikawal sosok yang jauh di atasnya.


Dan setelah pemuda-pemuda idaman itu berlalu Titi marah dan menyalahkan Har. Kesabarannya seakan habis,


“Mau mas apa sih?” tanya Titi dengan nada kecewa.


“Ada apa to De’?”


“Berlagak bingung lagi! Maksud mas itu apa nanya macam-macam sama dia, nanyain tenang beladiri segala, kurang kerjaan tau!”


“Lha, apa salahnya?”


“Ya salah! Gara-gara itu dia batal melamar Titi!”


“Mungkin belum jodoh”


“Belum jodoh? Enteng ya mas bilang begitu, mas tahu kan Titi sudah ta’aruf berapa kali? Tiga kali mas! Tiga kali! Dan semua gagal gara-gara mas!”


“Lho kok gara-gara mas?”


“Iya, semua mundur kan gara-gara mas! Wahyu batal melamar saat lihat mas pakai pakaian kayak gitu, ngapain mas pake gamis segala? Irwan juga mundur saat mas tanya hafalan Qur’an. Terus kemarin Zaenal mundur gara-gara ditanya masalah beladiri. Masih mengelak kalo bukan mas biangnya?”


“Mas nggak punya maksud begitu….”


“Trus maksud mas apa?!? Titi tahu mas itu hafidz, mas itu jago bela diri, tapi apa semua bisa seperti mas? Mas pengen mereka seperti mas semua?! Mas, mereka kan punya kelebihan sendiri-sendiri!”


“Mungkin memang mereka tidak tepat buat ade’, kan …”


“Gak usah tausiyah deh, percuma! Mas suka ya Titi tidak juga dapat jodoh, ndak nikah-nikah! mas sih enak! Mas laki-laki, nikah umur 30 juga ndak papa. Lha aku? Aku perempuan mas! Mas suka ya adeknya jadi perawan tua!?”


Titi tak peduli bagaimana reaksi Har mendengar cercaannya, dia langsung pergi mengurung diri di kamar semalaman. Paginya, dia tak mendapati Har lagi, “Sudah kembali ke Pesantren.” Jawab  ibunya waktu ia tanya tentang Har, dan jawaban itu melegakannya.


* * *


Akhirnya hari yang dinanti tiba, ta’aruf yang keempat kalinya. Titi menunduk malu-malu menghadapi orang yang dinanti. Sesekali ia mencuri pandang, ada debar aneh saat mendengar suaranya, bias harap dan asa menari di hatinya. Mas Yus berbincang akrab dengan pemuda itu, ibu dan mbak Isna kadang ikut menimpali.


Di tengah percakapan mereka tiba-tiba terdengar ucapan salam, “Assalamu’alaikum”


Reflek, semua mata menatap ke arah pintu sembari menjawab salam. Di sana berdiri sosok yang tak asing bagi keluarga Titi. Kopyah putih, dengan gamis panjang selutut dengan warna yang sama dan celana longgar yang ujungnya menggantung di atas mata kaki.


“Mas Har?” desis Titi, tiba-tiba tangannya menjadi dingin, tubuhnya seakan beku. Dia tidak peduli lagi saat obrolan dilanjutkan dengan tambahan pemain. Titi hanya menajamkan telinga, menanti mas Har melontarkan tanya pada calon suaminya. Semenit, dua menit, setengah jam tapi tak juga terdengar suara tanya mas Har. Ia hanya sesekali tertawa kecil atau menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya.


“De’ bagaimana?"


“Hah? Apa?” Titi agak linglung ketika tiba-tiba mas Yus bertanya padanya.


“Kok malah melamun to? Kamu dilamar, kamu jawab apa? Menerima atau menolak.” Lanjut mas Yus. “ Kalau ibu sama mas-masmu sudah terserah kamu.” Timpal Ibu.


Dilamar? Titi seakan masih belum percaya, ia memandang ibu yang duduk di samping mbak Isna, kakak iparnya, keduanya tidak berhenti tersenyum. Mas Yus juga sama. Dan saat matanya bertemu dengan wajah mas Har yang datar tanpa ekspresi, benaknya pun menari-nari, menebak apa yang dipikirkan masnya itu tentang calon suaminya. Dan tiba-tiba saja ada keraguan untuk menjawab “ya”.


“Maaf saya tidak bisa menjawab sekarang, karena….” Sebisa mungkin Titi melontarkan alasan-alasan agar bisa menunda jawaban. Entah kenapa bila mas Har tidak berkomentar seperti ada yang kurang. Itulah yang ia rasakan. Laki-laki itu tampak terkejut dengan jawaban Titi, tapi berusaha menguasai diri. “Kalau memang begitu insya Allah akan saya tunggu.” katanya kemudian.


Sepeninggal tamu istimewanya, Titi mendekati Har, “Mas” sapanya.


“Dia baik, hafalan Qur’annya memang belum banyak tapi katanya dia mau nambah kok, dia juga…”


“Ya sudah, kalau kamu cocok ya diiyakan saja, nggak usah promosi.” Potong Har, sembari tersenyum.  “Yang mau nikah kan kamu, kalau sudah mantap ya diteruskan saja.” Lanjutnya.


“Berarti boleh?” Tanya Titi memastikan. Har tersenyum tipis dan menganguk,


“Alhamdulillah. Syukron mas!”


“Nih! pangeranmu langsung dikabari saja, kasihan kalau nunggu lama-lama” kata Har sembari menyodorkan ponselnya. “Tapi sms saja ya, pulsanya limit..” Dan tawa ceria Titi pun berderai, ia lega.



Pesma arroyan, 12 Oktober 08
(untuk zayyan yang menempuh jalan berliku demi separuh dien itu, barakallahu lak)

Sunday, November 8, 2009

Sajak Terserak 1 : Fatamorgana Rasa

Hiburlah Dia

Tegurkan cinta yang membeku
di sudut hati membiru
Sapa ia
lewat lisan menawan
Dia terlalu sedih, terasing dalam kesendirian
Tutup pintu lukanya,
lewat buai lembut
penuh cumbu memupuk sebut
Dekati saja, temani jua, ia kan terbalut
Lekat kau duduk, peluk kau renggut
Memahatkan asmara, membuah ceria
yang sempat terkikis sirna

------------------------------------------------------------

Duhai Rindu

Wahai rindu yang merajam
Tolong, biarkan hati ini tenang
Sejenak, agar tiada bimbang

Wahai rindu yang menggebu
Tolong, undurlah deburan di kalbu
Sebentar, hingga disapa waktu

Wahai rindu yang menggelora
Tolong, jangan ada lagi lara
Terulang, hingga sakit tak lagi terasa

------------------------------------------------------------


Siapa disana..

Siapa ini, yang mengisi tiap mili dengan pesona di hati.
Siapa dia, yang menjadi berharga dan membuat terlena.
Siapa? Siapa?
Siapa, yang menjadikanku terhempas, tenggelam dalam peluh kerinduan
Siapa, yang menguburku dalam remah-remah kepiluan
Siapa? Siapa?
Siapa, yang membiarkanku terpuruk dengan jiwa terkesan,
terdiam memandang menikam
Siapa? Siapa?
Siapa gadis berkacamata disana...

------------------------------------------------------------


Hasrat-hasrat

Siapa berpuisi?
membelah hari-hari dengan kata
sarat makna ungkapan rasa
Siapa bersajak?
Mengirim kerak-kerak rangkaian kalimat
penuh hasrat
lukisan jiwa pendamba

Hasratku tuliskan puisi
untuk putri bermata jeli
yang hadir dalam mimpi-mimpi

Hasratku tuliskan sajak
mewakili kuncup-kuncup terinjak
kaki-kaki penebar kehendak

Hasratku tuliskan prosa
bagi anak manusia
yang sempat tumbuhkan benih cinta
beraroma, berasa dalam dada

hasrat-hasrat hatiku... menggebu.

Wednesday, November 4, 2009

Kaukah Orangnya...?

Kaukah orangnya, yang membenamkan diri dalam kelam malam sembari bercinta dalam dekap keagungan Tuhan. Melantunkan 'surat cinta' sang Pencipta yang dianugerahkan pada manusia. Menenggelamkan diri dalam cahaya yang muncul dari pengakuan akan Kuasa-Nya.

Kaukah orangnya, yang tak ragu melangkah di jalan sunnah. Meneladani tiap mili gerak Nabi. Mengambil segala cakap ucap, segala tindak tanduk dan segala tingkah polah sang pembawa risalah.

Kaukah orangnya, yang terus menapaki jenjang-jenjang kesholihan tanpa jeda. Yang merangkum hari dengan kebaikan tanpa sela. Yang menghabiskan detik demi detik dalam bingkai kemanfaatan tanpa reda.

Kaukah orangnya, yang tak jemu menyeru manusia menuju Tuhannya. Merambah lika-liku dakwah tanpa keluh kesah, tanpa pernah berkata "aku lelah"

Kaukah orangnya, yang begitu menganggap biasa kubang pujian manusia dan senantiasa membalut diri dengan keikhlasan dalam bekerja, semata mendamba keridhoan sang Maha Pemelihara.

Kaukah orangnya, yang tak bosan menyapa sesama dalam ketulusan rekah senyuman dan menghulurkan persaudaraan dalam bingkai keimanan.

Kaukah orangnya...

Kaukah orangnya, seorang merdeka yang telah mengetahui wujudnya dan lantang berseru, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagi-Nya. Kepada yang demikian itulah aku diperintahkan dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri."

UBIN

oleh:  Ardhi  El Mahmudi


Setelah sholat subuh Parto sengaja tak segera pulang. Masjid sudah sepi hanya tinggal dia dan mbah haji Bakir, imam masjid, yang sedang khusyuk berdzikir. Parto menyandarkan punggungnya ke salah satu tiang masjid. Dia diam saja layaknya orang bertafakur atau berdzikir dalam hati. Tapi sebenarnya ia melamun dan asyik dengan pikirannya sendiri. “Mungkin Sami’un punya?” gumamnya lirih. “Tapi Istrinya baru saja melahirkan. Tidak mungkin ia punya uang cadangan. Pasti semua untuk si jabang bayi. Kalau Tardi? Ah, penjudi itu kapan pernah punya uang? Setiap pegang uang larinya pasti ke meja judi. Paling dia juga utangnya menumpuk. Sastro? Ya dia pasti punya. Tapi dia itu lintah darat. Mendingan tak usah pinjam dia, susah sendiri nanti. Atau Kandar? Utang yang kemarin saja belum kubayar. Malu kalau mau utang dia lagi.”

Parto mendesah, kalau bukan karena istrinya yang merengek-rengek dia tak perlu repot memilah dan memilih teman-temannya yang punya uang lebih. Cari utangan saja susah apalagi cari uang sendiri. Mata Parto berputar dan akhirnya menunduk memandang ke bawah, lantai masjid ini tampak bagus, ubinnya dari kayu tidak licin, kalau malam tentunya tidak dingin dan kalau siang pun tidak terasa panas. Sedangkan lantai rumahnya masih tanah, penuh debu. Lantai, itulah penyebabnya, istrinya minta lantai rumahnya diberi ubin. Percakapan semalam masih terngiang di telinganya.

“Mas, mbok ya rumah ini diberi ubin. Mas ini kan sudah lama jadi pegawai, mosok lantai rumahnya masih tanah. Apa ndak malu?”

“Belum ada uangnya Sri, aku kan hanya pegawai kecil. Golongan rendah. Gajiku berapa sih? Sabar dululah, kita nabung dulu.”

“Utang kan bisa?”

“Kita sudah banyak utang.”

“Kasihan thole, dia mulai bisa mbrangkang. Kalau lantainya masih tanah kan ndak bersih. Bisa-bisa penyakitan, debunya banyak.”

Parto pun menyerah, dan mulai mencoba mencari utangan. Sami’un, Tardi, Kandar dan teman-temannya sesama pegawai tak bisa diharapkan. Mereka sama-sama hidup pas-pasan, gaji sama-sama kecil.

“Ada apa Le? Tidak pulang?” suara mbah haji Bakir mengusik lamunannya.

“Ah ndak apa-apa mbah haji, hanya ingin ngadem di mesjid.” Sekenanya ia menjawab, mencoba menutupi masalahnya. Parto salah tingkah saat haji Bakir menatapnya lama.

“Ada masalah apa di rumah? Cerita saja!” Rasa tidak enak menyergap dada Parto saat mendengar pertanyaan mbah haji Bakir, dia sudah terlalu sering merepotkan lelaki sepuh itu. Sejak dia kecil, saat ia remaja, hingga ketika ia kesana-kemari mencari kerja semua tak lepas dari bantuan mbah haji Bakir. Segan dan malu rasanya untuk mengeluh lagi pada beliau, apalagi ia sudah menikah. Guru ngajinya itu memang cukup sayang pada Parto, mungkin karena Parto orangnya nurutan, dan tidak suka neko-neko.

“Kenapa diam? Ndak usah ngapusi, mbah tahu kamu ada masalah. Masih ndak mau cerita?” tatapan sejuk orang tua itu mengikis keraguan di hatinya.

“Tak apalah sedikit cerita siapa tahu mbah haji punya jalan keluar.” Kata hati Parto. Dan meluncurlah ceritanya, tentang istrinya yang minta ubin, anaknya yang mulai bisa merangkak dan juga rencananya cari utangan.

“Oh itu to, Kalau kamu mau di rumah masih ada semen sama pasir, mungkin cukup untuk nambal lantai rumahmu.” Tawar mbah haji Bakir.

“Nggak usah repot-repot mbah, biar nanti saya …”

“Cari utangan? Kamu itu, sejak nikah kok kemaki. Biasa wae, sudah ..!, besok ambil saja, dari pada repot-repot cari utangan. Apa mau barangnya sekalian diantar ke rumahmu?”

“Eh ndak usah mbah, biar saya saja yang ngambil.”

“Lha mbok ya gitu, yo wis, aku pulang. Jangan lupa diambil.” Pamit mbah haji Bakir sembari menjabat erat tangan Parto dan menepuk pundaknya. Dalam hati Parto berjanji akan mengembalikan semen dan pasir yang ia ambil dari rumah haji Bakir. Ia menganggap semua itu adalah utang.

* * *


Parto lega, akhirnya lantai tanah itu tertutupi, memang bukan dengan ubin tapi hanya plesteran semen. Memang tak mewah tapi cukup bisa mengurangi debu tanah hingga nanti anaknya bisa leluasa bermain di lantai. Dan yang jelas bisa menutup mulut istrinya yang terus-terusan minta ubin. Tapi kelegaan itu tak begitu lama, beberapa hari kemudian mulut istrinya bersuara lagi.

“Mas beli karpet ya? Lantainya dingin.” Rajuk istrinya. Melihat Parto tak menanggapi, sang istri melanjutkan dengan alasan lain.

“Kasihan thole sering masuk angin setelah tiduran di lantai. Semen kan lembab kalau musim hujan.”

“Ya jangan tidur di lantai, di kasur kan bisa.”

Simbok juga sering ngeluh dingin kalau sedang duduk-duduk. Asmanya bisa kambuh nanti. Rematiknya juga.” Istrinya tak menyerah membujuk.

“Apa hubungannya asma dengan lantai dingin?” batin Parto, tapi ia tak kuasa mendebat istrinya.

“Ya nanti dipikir, aku belum punya uang. Sabar ya, kita nabung dulu.” Ucap Parto akhirnya.

“Utang kan bisa?”

“Sri utang kita sudah banyak, utang sama mbah haji Bakir saja belum kita bayar mosok mau cari utangan lagi? Belum lagi utang ke Kandar waktu thole sakit, utangmu ke warungnya yu War belum dibayar juga kan? Sekarang masih mau cari utangan? Punya utang itu hidup tidak tenang.” Panjang lebar Parto mencoba menasehati. Istrinya pun diam sambil cemberut.

“Sabar dululah Sri, kalau nanti ada rejeki kita beli karpet.” Percakapan itu pun berakhir, istri Parto tampaknya sudah mulai menerima meski masih dengan wajah tertekuk.

* * *


Hari menjelang ashar, dalam lelah Parto melangkah., perut yang lapar dan kepenatan memaksa kakinya bergegas. Tapi seketika rasa laparnya menguap ketika mendapati keadaan lantai rumahnya yang berubah.

“Lho, karpet siapa ini Sri?” tanyanya terkejut.

“Karpet kita! Lha memangnya karpet siapa?” jawab si Sri sambil mengulum senyum.

“Kamu beli pakai apa? Uang dari mana? Kamu utang ke siapa?” Cecar Parto menyelidik.

“Sabar mas, nanyanya mbok ya satu-satu. Ini nggak utang kok, ini kreditan.”

“Apa bedanya dengan utang?”

“Ya beda!”

“Aku kan sudah bilang, ndak usah beli karpet dulu. Kamu kok ndak mau sabar to?”

“Sabar gimana? Lha nanti kalau thole masuk angin gimana? Ujung-ujungnya cari utangan juga kan, buat periksa? Buat nebus obat? Hayo? Kata bu Bidan kan mencegah lebih baik dari pada mengobati.”

Parto tidak berminat mendebat istrinya, dari pada nanti perang, lebih baik diam. Dia hanya mendengus dan berlalu dengan jengkel. Parto sering heran dengan tingkah istrinya itu, apa tidak memikirkan keadaan rumah tangganya yang pas-pasan.

* * *


“Mas pijitin dong, aku capek, thole tadi ngompol di karpet.”

“Suruh siapa beli karpet.” batin Parto. Tapi tangannya tetap bergerak memijit lengan dan pundak istrinya.

“Pasang keramik saja ya mas, kan nggak harus nyuci kalau kena ompol.” Parto menghela nafas panjang sembari membatin kenapa istrinya tidak juga merasa cukup dengan yang ada.

“Dingin, licin. Nanti kalau thole masuk angin gara-gara tidur di lantai atau kepleset gimana?”

“Nggak kok.”

“Kamu kok ngeyel,”

“Di tempat yu War nggak dingin. Nggak licin banget.”

“Itu bukan keramik, itu marmer.” Jawab Parto sok tahu, padahal dia belum pernah masuk ke rumah yu War. Selain itu sebenarnya dia juga tidak tahu apa bedanya keramik dengan marmer.

“Ya udah pasang marmer saja.”

“Mahal, bisa-bisa jual rumah buat beli marmer.”

“Mosok sampai jual rumah, utang kan bisa?”

“Mau utang lagi? Karpetmu saja belum lunas.” Sri diam, sesekali meringis ketika Parto memijit agak keras.

“Kalau ubin kayu gimana mas? Ganti ubin kayu saja ya mas, kan tidak dingin, tidak licin.mungkin saja lebih murah.”

“Carinya susah harus ke luar kota.”

“Lha yang di masjid itu?”

“Itu sumbangan. Belinya juga aku ndak tahu dimana.”

Istri Parto nampak diam, matanya terpejam menikmati pijatan sang suami. Parto lega, akhirnya istrinya berhenti berkata-kata, dan tangannya tetap bergerak di pundak istrinya.

***


Seperti hari-hari yang biasa dijalani. Parto pulang menjelang ashar. Tatap heran muncul di wajahnya saat didapatinya tumpukan kardus di depan rumah. Istrinya yang berdiri menyambutnya langsung ditanya.

“Apa ini Sri?”

“Marmer.” Jawab istrinya kalem.

“Uang dari mana?”

“Dari kang Sastro.”

“Rentenir itu?”

“Bunganya kecil kok mas. Cuma dua persen.”

Tiba-tiba kepala Parto pening, terbayang pasir dan semen dari haji Bakir yang belum dikembalikan, karpet yang belum lunas cicilannya, dan sekarang ditambah utang berbunga. Dia merasa begitu marah pada istrinya.

“Kamu sudah kelewatan Sri! kapan kamu mau nurut sama aku!?” keras suara Parto.

Tanpa memperdulikan istrinya yang terkejut dengan bentakannya Parto pergi meninggalkan rumah. Dan istrinya memandanginya dengan tatap tak mengerti.

(Ar Royyan, 7 Juni 2006) Qona’ahkah kita?


thole / le : panggilan untuk anak laki-laki


mbrangkang : merangkak


neko-neko : macam-macam


nurutan : penurut


ngapusi : berbohong


Biasa wae : biasa saja


Simbok : Ibu


yu : kependekan dari mbakyu




Cerpen ini pernah di muat di Lembar Khazanah (eLKa) majalah Sabili, edisi berapa ya? lupa.... ^_^.   Ada yang tahu?