Friday, June 15, 2012

Serpih Kata Di Sela Masa 11

1 Januari 2012, pukul 9:06
Dimana kalian wahai para pemuda yang mendalami agama?
Dimana kalian wahai pemuda yang mengaku mencintai Allah dan utusan-Nya?
Dimana kalian wahai pemuda yang mengikrarkan keislaman dan merasa memiliki keimanan?
Dimana kalian?
Saat bumi dipenuhi kedurjanaan dan ketidaksesuaian dengan ajaran Tuhan, dimana kalian?
Apa kau hanya bisa diam dan mencukupkan diri dengan selemah-lemah iman. Kau punya akal dan lisan, kau punya pena di tangan. Serukan kebenaran, tuliskan segala keindahan ajaran. Bukan sekedar hasil yang kita tuju, namun kemuliaan di sisi Yang Maha Satu! (kaca diri pagi ini)

3 Januari 2012, pukul 19:10
Hamba yang hina ini mencoba tahu diri, bahwa amalnya memang tak seberapa, bahwa kehidupannya terlalu banyak alpa dan dosa. Maka hanya rahmat-Nya yang diharap bisa menyelamatkan dari siksa neraka...
Yaa Muhaimin yaa Salaam... Salimnaa.. salimnaa

14 Januari 2012, pukul 16:50
Dan engkau akan lihat Dia begitu perkasa, Rabb kita Dia lah Tuhan Yang Maha Mulia...
Dia telah janjikan kemenangan yang nyata....

30 Januari 2012, pukul 7:17
Untuk apa kau tuliskan keluh tentang benturan yang membuatmu mengaduh. Untuk apa kau ungkapkan duka dan kecewa pada manusia, mengumumkannya hingga setiap orang bisa membaca. Sedang Tuhan kau lupakan, padahal Ia senantiasa akan mendengar, Ia lah pemberi kelapangan dan jalan keluar.

30 Januari 2012, pukul 7:31
Wahai diri, Kenapa tak kau tuliskan saja tentang hikayat para pahlawan, semangat yang berkobar dalam berkorban atau hasrat untuk menggapai kemuliaan di sisi Tuhan. Atau tulis saja sabda sang junjungan, Nabi akhir zaman atau ucapan Ulama dan cendekiawan. Siapa tahu pembaca akan mengamalkannya dan kau pun mendapat bagian pahala yang sama dengan mereka. Dari pada menuliskan keluhan dan mengumumkan kegiatan yang entah dicatat sebagai apa di sisi-Nya, mungkin hanya akan tersia dan malah memberatkan timbangan keburukan karena menjadi bagian kemubadziran...

18 Februari 2012, pukul 23:57
Wahai Yasir dan Sumayyah, duhai Hamzah dan Handzalah. Mush'ab, Ja'far, Zaid bin Haritsah, ibnu Rawahah, jua para syuhada' di bi'ru ma'unah... Kuingin impikan kalian, menapaki jalan dimana kaki kalian langkahkan, memahami arti iman dan pengorbanan layaknya yang kalian persembahkan, dan berharap bisa berdiri membersamai di akhirat nanti.

1 Maret 2012, pukul 14:40
Perbaiki usaha, kuatkan tekad akan asa. Sebelum timbul sesalan panjang atas berlalunya usia yang tanpa guna, atas segala kesempatan yang terlewatkan dengan sia-sia, atas masa yang tak kan terulang seperti sedia kala. Maka tak ada lain kata yang pantas diserukan oleh lisan, bersegera... bersegera... menuju genggam cita yang telah lama didamba...

2 Maret 2012, pukul 21:07
Sang penguasa alam tentu saja tak sekedar mempermainkan. Mungkin itu adalah teguran, atau sebuah pelajaran, atau untuk meningkatkan derajat ketaqwaan. Tinggal dirimu, bisakah mengambil hikmah dari sekian banyak kisah yang tak sedikit membuat sakit...

4 Maret 2012, pukul 15:01
Mencoba bertahan, menguatkan pijakan kaki meski ada keinginan untuk pergi. Mencoba tak peduli, saat ada tawaran yang lebih bisa memenuhi hasrat hati. Semua demi sebuah janji. Janji-Mu, wahai Robbku. Janji-Mu pada para penuntut ilmu....
kemudahan jalan ke surga.

6 Maret 2012, pukul 9:14
Wahai diri, akankah kau ingin menjadi hamba yang biasa saja. seperti orang yang tak mengerti arti mengapa kau dicipta. Akankah berlalu umurmu dengan tanpa kesan? Beramal sekedar penggugur kewajiban agar tak dianggap hamba ingkar? Padahal bermacam kebaikan telah Ia janjikan, tak kah kau tergerak untuk mendapatkan? Tak terhingga Ia anugerahkan kenikmatan, tak kah kau berhasrat untuk lebih banyak berkorban? Kapan segala yang terbaik kan kau persembahkan jika memang keridhoan dan cinta-Nya yang kau citakan?

14 Maret 2012, pukul 1:10
Kumelihatnya, sekilas saja. Seorang gadis berkacamata berkursi roda. Azzam macam apa yang ia punya, Ia coba mandiri dengan keterbatasan yang dimiliki. Jauh berbeda kota, meninggalkan orang tua dan sanak saudara demi sebuah cita yang ia damba, menjadi bagian dari keluarga Yang Maha. Bagaimana dengan kita yang tumbuh dengan tubuh sempurna? Hidup sekedarnya dan sering melupakan-Nya? Betapa tak bernilainya...

14 Maret 2012, pukul 15:36
doa untuknya...
semoga yang tertulis di atas sana sesuai dengan hasrat hatinya. kalau pun berbeda semoga selalu bisa sabar menerima dan ridho atas segala putusan-Nya

20 Maret 2012, pukul 3:18
saat kita pernah merasakan sakitnya kehilangan,
nanti kita akan bisa menikmati rasanya memiliki
(celetukan di dini hari)

21 Maret 2012, pukul 22:05
Mungkin di satu tempat engkau didahulukan dan dituakan. Apa yang kau banggakan dengan penghormatan yang kau dapatkan? Sedang setelah ketuaan akan datang kematian. Selanjutnya dimandikan, dibungkus kafan dan disholatkan kemudian ditanam di dalam lubang tanpa penerangan. Apa yang akan kau banggakan? Apa yang akan kau banggakan?!?

30 Maret 2012, pukul 8:05
kau pernah rasakan sakitnya namun masih saja tak juga jera melakukan hal yang sama. bodohnya, kenapa tak juga belajar pada kesalahan yang sempat kau lakukan.

14 April 2012, pukul 6:09
Pada-Nya semua bermuara. Benturan tak seharusnya putuskan asa. Ia lebih tahu, apa yang terbaik bagi dirimu. Ia lebih paham, apa yang seharusnya kau genggam. Ia lebih mengerti jalan mana yang sebaiknya kau lalui. Menerima setiap ketentuan-Nya dengan lapang dada tentunya lebih membuat lega...

23 April 2012, pukul 12:20
Wahai diri, Kesholihan macam apa yang kau punyai?
Kesholihan, bukan sekedar dengan sebutan akhi dan ukhti atau anta dan anti.
Kesholihan, bukan sekedar rapat berjam-jam dengan alasan memikirkan umat namun penuh debat tanpa manfaat. Kesholihan bukan sekedar dengan menunjukkan rasa malu ketika bertemu namun tanpa segan berlama-lama berbincang berduaan melalui pesan dan jejaring sosial.
Wahai diri, Kesholihan macam apa yang kau punyai?

25 April 2012, pukul 12:18
Duhai diri,
saat tangan kiri tidak mengetahui apa yang tangan kanan beri, bukankah itu lebih terpuji. tutupi.. tutupi.. agar segala yang diberikan tersimpan di sisi yang maha Tinggi...

1 Mei 2012, pukul 17:35
Wahai ayah bunda, jangan pelihara duka. di jalan ini ku telah bahagia. Jangan pula risaukan kehidupan nanda di masa depan karena semua telah tertuliskan. Harta dan kedudukan bukan tujuan, pandangan manusia tak lagi ingin kurisaukan. Ku telah cukupkan inilah jalan pilihan, yang kuyakin membawa pada kebaikan hingga kematian, hingga alam keabadian. Dan sungguh balasan di sisi Yang Maha Besar lebih menjanjikan...

3 Mei 2012, pukul 22:05
Saat kata demi kata buah karyanya kueja di hati. Tusukan demi tusukan hadir melukai. Namun yang kudapati bukanlah luka yang menyakitkan melainkan luka yang menyembuhkan. Tak bosan, meski kubaca berulang-ulang. Goresan pena sang murobbi dalam pilar-pilar asasi memberi energi tersendiri di tengah keasingan yang menyertai...

8 Mei 2012, pukul 11:33
Wahai diri, jangan kau panjangkan kata dan cerita akan keinginan tentang masa depan. Sungguh, orang yang lapar tak kan kenyang hanya dengan membayangkan makanan. Orang yang kehausan tak kan hilang dahaganya hanya dengan menyebut jenis-jenis minuman. Demikian pula dengan cita-cita dan harapan, semua tak kan tergenggam hanya dengan ucapan berulang. Tanpa langkah pertama dan usaha nyata semua hanya angan-angan tanpa makna.

13 Mei 2012, pukul 7:38
Pesannya, "Jangan, kecewa atau pun putus asa hanya karena mereka tak mendengar seruan yang kau sampaikan. Nilainya bukan disana, namun kejujuranmu, kesungguhanmu dan keistiqomahanmu dalam menyeru. Tetaplah mengatakan kebenaran karena -sebuah keniscayaan- sebagian akan ada yang beriman, sebagian pun akan ada yang ingkar dan menentang..."

19 Mei 2012, pukul 11:36
Wahai diri tak kah kau sadari, hatimu telah mati. Kau tak lagi peka akan dosa. Di matamu, terlihat hanya lalat yang hinggap di ujung hidung. Sekedar kau kibaskan tangan maka ia akan terbang meninggalkan. Padahal.. padahal.. sesungguhnya di hadapanmu ada tumpukan batu yang akan menimpamu dan menguburmu dalam penderitaan yang panjang, dalam siksaan yang akhirnya entah kapan.

7 Juni 2012, pukul 8:23
Wahai diri.. waspadai hati-hati yang tersakiti. Saat mereka terluka karena sikapmu yang tercela atau tajamnya kau bicara. Sungguh kau kan celaka jika dalam batinnya mereka berkata,"Wallahi! akan kuadukan perkara ini pada Ilahi. Memang ku bukan hamba yang sempurna ketaatannya. Namun kuyakin tak ada hijab antara Ia dengan orang yang teraniaya..."

=========================================================================================
Rangkai kata di atas merupakan kumpulan status dari akun FB kami : “Tiada Nama“ -ardhi el mahmudi-)

Sunday, April 29, 2012

Karena Iman dan Taqwa, Bukan Darah dan Bangsa

Mereka terhina di awal mula. Mereka diperjualbelikan layaknya barang, bekerja tanpa upah, dan tak jarang mengalami siksaan tanpa ada pembelaan. Golongan budak memang tak memiliki hak yang sama dengan orang merdeka. Bahkan kehidupan yang mereka punya adalah milik tuannya. Saat islam datang dan dada mereka dipenuhi keimanan maka semua berubah. Mereka pun menjadi orang-orang mulia, tak jauh berbeda dengan bangsawan atau pun golongan terkemuka.

Di antara mereka ada Bilal bin Rabbah, sebelum islam ia adalah budak milik Umayyah bin Khalaf seorang pembesar di kalangan Quraisy. Di awal keislamannya siksaan dan deraan dari sang majikan selalu ia terima. Hingga akhirnya Abu Bakar Ash Shiddiq membelinya dan memerdekakannya. Saat cahaya Islam semakin benderang di Madinah, ia didaulat menjadi muadzin Rasulullah saw. Para sahabat yang lain pun menghormatinya, misalnya Umar ketika ditanya mengenai Abu Bakar dia selalu menyertakan Bilal dengan menjawab, ”Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita.” Lelaki hitam mantan budak ini adalah lelaki surga, Rasulullah pernah mengabarkan padanya bahwa pada malam mi’raj beliau mendengar suara terompah Bilal di sana. Betapa mulianya, kasta memang tak berlaku, taqwalah yang selayaknya dituju.

Ada pula Ammar bin Yasir. Ayahnya memang merdeka, namun dia hanya seorang pendatang dari Yaman. Sedang ibunya, Sumayyah, adalah salah satu budak Ibnul Mughirah. Statusnya yang anak budak telah menjadikan Ammar berada dalam kasta rendahan di kalangan Quraisy. Maka di awal keislamannya ia dan keluarganya tak luput dari siksaan hingga harus kehilangan kedua orang tua di depan mata. Namun kedudukannya di kalangan umat islam begitu istimewa. Rasulullah SAW. begitu sayang padanya, hingga ketika beliau mendengar bahwa Khalid bin Walid bertengkar dengan Ammar, Rasulullah SAW langsung berkata pada Khalid, “Hai Khalid, siapa yang memaki-maki Ammar bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.” Demikianlah kedudukan Ammar bin Yasir dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan akhirnya, di perang Shiffin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ia dianugerahi kesyahidan, Setelah jasadnya dikuburkan, para sahabat kemudian berkumpul dan saling berbincang. Salah seorang berkata, “Apakah kau masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu bersabda, "Surga telah merindukan Ammar?"
Ya, memang dia pernah terhina, disiksa dan sempat dipandang sebelah mata, namun surga telah lama merinduinya.

Disana juga ada Salim. Seorang mantan budak milik sahabat Rasulullah, Abu Hudzaifah. Setelah Abu Hudzaifah masuk islam maka Salim pun dimerdekakan dan diangkat menjadi anaknya. Namun setelah turun larangan menisbatkan anak angkat kepada sosok yang bukan ayah kandungnya, maka Salim yang tidak dikenal siapa bapaknya, menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggil Salim maula Abu Hudzaifah. Meski pun ia mantan budak, itu tak mengurangi kemuliaanya, dialah yang menjadi imam bagi orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah setiap mereka shalat di masjid Quba, ia juga tempat bertanya tentang isi Kitabullah, dan Rasulullah pun memerintahkan para sahabatnya untuk belajar Al Qur’an padanya dengan bersabda, “Ambillah olehmu al-Quran itu dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.”
Di saat perang Yamamah, memerangi Musailamah sang nabi palsu, ia bersama Abu Hudzaifah berjuang bersama, Dan akhirnya ia menjadi salah satu dari 70 penghafal Al Qur’an yang syahid di perang itu. Di sampingnya juga telah terbaring mantan majikannya yang telah menjadi layaknya saudara. Sebuah akhir yang indah, dua saudara yang masuk islam bersama, hidup bersama, dan mati pun bersama.

Ada juga Salman Al Farisi, meski ia berasal dari Parsi dan merupakan putra tokoh disana ia pernah merasakan menjadi budak milik seorang Yahudi di Madinah. Semua dilaluinya demi menemui penghulu para Nabi yang ia nanti-nanti. Saat Rasulullah hijrah ke Madinah ia pun menyatakan keislamannya. Dengan statusnya yang masih budak, ia tak bisa mengikuti Rasulullah berjihad di Badar dan Uhud. Maka saat Rasulullah tahu keadaannya beliau pun bersama para sahabat menebus kemerdekaannya. Ketika perang Ahzab, Salman mengeluarkan gagasan cemerlang dengan mengusulkan untuk menggali parit demi melindungi kota Madinah. Strategi ini berhasil menahan sekitar sepuluh ribu pasukan musuh. Ia pun dijuluki Luqman Al Hakim karena keluasan pengetahuannya. Sahabat yang mantan budak ini juga pernah diperebutkan oleh kaum Muhajirin dan Anshor karena keutamaannya, kala itu kaum Anshar serentak berdiri dan berkata: “Salman dari golongan kami”. Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Maka Rasulullah pun menengahi, “Bukan keduanya, tapi Salman adalah bagian dari kami, dari ahlil bait.” Salman, dia orang asing, bukan seorang arab, pernah pula menjadi budak, namun karena keutamaan yang dimiliki, ia pun diakui termasuk golongan keluarga Nabi.

Demikianlah, kemuliaan seseorang bukanlah didasarkan pada trah keturunan atau dari bangsa apa seseorang dilahirkan. Kemuliaan sejati didapat karena keteguhan iman dan tingkat ketaqwaan, juga dengan ilmu dan keahlian yang bisa memberi kemanfaatan pada sekian banyak orang.
Wallahu a’lam.



Kudus, 9-10 Maret 2012
By. A.E.M
==============================
Telah Dimuat di Buletin Madani edisi:15 / bulan maret 2012

Monday, January 23, 2012

Wahai Yang Maha Satu, Ampuni aku ...

Wahai diri, tak kah kau gentar?
Adakah peringatan yang datang tak buatmu gemetar.
Tak kah kau takut akan akhir dalam kesia-siaan?


Saat nyawa tak lagi lekat pada raga.
Dan saat kau kan ditanya tentang apa yang kau lakukan di dunia.
Tak kah kau dengar tentang beratnya siksa
bagi kaum yang tak indahkan peringatan dari Yang Kuasa?


Ku telah dengar,
ku telah temukan dari bacaan-bacaan,
juga dari lisan para penyeru kebenaran.
Namun kenapa ku tak juga mampu gerakkan sendi-sendiku menuju kebaikan?
Ataukah aku telah terikat pada keburukan dan ditakdirkan untuk menemani setan
yang telah dituliskan sebagai ahlun naar?
Betapa menyedihkan jika demikian?


Betapa malangnya jika di akhir nanti ku dibelenggu bersama-sama manusia durhaka,
yang ingkar pada kebesaran Yang Maha.
Betapa sengsara bila ku dilemparkan ke neraka
dengan siksa yang tak ada habis-habisnya.
Betapa tak beruntungnya... betapa tak beruntungnya...


Wahai Yang Maha Satu, Ampuni aku... ampuni aku...
Saat kemaksiatan selalu saja kuulang.
Saat kemalasan selalu saja tak bisa kuenyahkan.
Saat keengganan menuju kebaikan selalu saja bersemayam.
Saat seruan kebenaran tak juga kuindahkan.
Saat ayat-ayat-Mu berlalu tanpa kurenungkan, tanpa kuambil pelajaran.
Saat segala ajaran islam tak kupedulikan...


Wahai Yang Maha Satu, Ampuni aku... ampuni aku...
atas kelemahanku,
atas kebodohanku,
atas ketdakpatuhanku,
atas pembangkanganku,
atas ketidakridhoanku akan putusan-Mu,
atas kemalasan dan keengganan dalam menuju-Mu,
atas segala dosa dan kesalahan yang telah lalu...


Wahai Yang Maha satu, Ampuni aku... ampuni aku...
Jangan, jangan gabungkan  aku dengan mereka,
para pendurhaka yang tak juga percaya pada kebesaran dan kuasa-Mu
Jangan, jangan jadikan aku berkumpul dengan mereka,
orang-orang yang ingkar dan selalu menentang perintah-perintah-Mu.
Jangan, jangan jadikan aku bagian dari mereka,
orang-orang yang selalu mencari-cari alasan pembenaran sebuah kesalahan,
yang meminta pemakluman namun tak juga bersegera dan terus saja menunda pertaubatan.
Jangan, jangan Kau cabut keimanan yang bersemayam di dada,
Jangan Kau jadikan kecenderunganku untuk bersama dengan para hamba dunia...


Wahai Yang Maha satu, Ampuni aku... ampuni aku...
Mohonku sangat, Jangan jadikan aku terlaknat
Harapku dalam cekat,
ku kan tercatat menjadi bagian dari orang-orang yang bertaubat
=============================================
Kudus, 23/01/2012

Saturday, January 14, 2012

Dua Pendidik Itu Mengesankanku -sebuah catatan perjalanan ke Jombang-

Senin, 9 Januari 2012, kurang lebih Pukul 21.00, benda mungil yang kupegang berdering. Hmm sebuah nomor asing. Saat kuangkat terdengar suara perempuan. "Ustadz Arifin? Sampai mana?" sapanya setelah mengucap salam. "Sebentar bu, ini orangnya disamping saya." jawabku. Kusodorkan HP itu ke rekan yang sedang memegang setir. Dan terdengarlah percakapan dengan bahasa Jawa campur dengan bahasa nasional kita, Indonesia. "Nggih insya Allah jadi kesana bu. Niki nembe perjalanan. Mungkin sampai disana radi dalu. menawi bade tindak ditinggal mawon bu, dalem sak rencang sowanipun besok saja kalau begitu." Dan kudengar suara samar-samar jawaban ibu tadi dari seberang , "Malam ini sampainya juga tidak apa-apa. saya tunggu."


Benar saja, kami sampai tujuan sudah terlalu malam untuk bertamu, pukul 23.00 wib. Tapi pintu rumah yang kami tuju masih terbuka, dan pasangan suami istri itu tetap menyambut kami dengan hangat, menjamu kami dengan makanan dan melayani percakapan demi percakapan hingga larut malam. Saat jarum jam menunjukkan pukul 00.30. kami pun undur diri.


Setelah semalaman sengaja tidur di dalam kendaraan agar tidak tambah merepotkan tuan rumah. Esok paginya kami kembali. Dan lagi-lagi kami dijamu seperti saat kami datang semalam. Disambut dengan hangat dan dipersilahkan untuk sarapan. Kali ini bukan hanya pasangan suami istri itu saja yang menemani tapi ditambah dengan dua orang pemuda murid mereka, Islah dan Badruzzaman. Di tengah-tengah menikmati sarapan, muncul seorang tukang koran yang hendak menagih iuran langganan bulanan. Spontan pasangan tuan rumah dan dua orang muridnya itu mempersilahkan si tukang koran untuk masuk dan ikut makan bersama. "Kalau tidak sarapan dulu uangnya tidak saya bayarkan lho." Canda si ibu. Dan dengan malu-malu tukang koran itu pun duduk bersama dengan kami, mengambil nasi dan hanya mengambil lauk sederhana,kering tempe. "Itu bapaknya dilayani Is." kata si ibu. "Pakai ini pak," kata Islah sambil menaruh sepotong bebek goreng di piring sang tukang koran. "Ini juga dipakai." katanya lagi, kali ini telur asin. "Sampun... sampun." Kata si tukang koran. Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Betapa ramahnya, betapa mereka bisa bersikap begitu biasa dengan siapa saja. Tak ada strata, entah ia tukang koran, ustadz pesantren, murid-muridnya siapa pun itu tak mereka bedakan perlakuannya.


Setelah perangkat hidangan diangkat, kami berbincang dengan sang ibu. Selama tiga jam kami bercakap ada banyak ilmu yang kami dapat. Petuah demi petuah yang disampaikan tanpa ada kesan menggurui atau nada menasehati. Melalui cerita ia mengajak kami merenungi kehidupan yang dijalani. Diantaranya beliau berujar, "Setiap manusia pasti diberi cobaan baik lewat anaknya, istrinya, suaminya, harta, jabatan, banyak hal. Kadang ada orang yang sebelumnya ada di atas tiba-tiba berada di titik paling bawah, Sebelum jadi seperti ini kami pun pernah di angkat oleh Allah dengan kondisi berkecukupan, namun tiba-tiba dicoba dengan kekurangan harta hingga serendah-rendahnya. Bahkan rumah ini juga sempat hampir di jual. Dan sekarang diangkat kembali, metode Hanifida itu ditemukan saat kami ada di titik terendah. Memang semua itu liyabluakum ayyukum ahsanu 'amala, cobaan itu untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya...."


Ah, perjalanan yang memberi banyak pelajaran. Dan kami pun pulang dengan membawa kesan menawan tentang dua pendidik yang tinggal di Jombang. Mereka Yang telah memberi kami ilmu dalam pertemuan yang singkat itu, menyambut kami di tengah-tengah kesibukan mereka, memuliakan kami yang datang di saat jam-jam istirahat malam. Mereka adalah Dr. Hanifuddin Mahadun,M.Ag dan Dr. Khoirotul Idawati Mahmud, M.Pd.I, Penemu metode menghafal Hanifida, Master trainer yang telah menyampaikan materi-materi temuan mereka di berbagai kota di Indonesia, dan pemilik pesantren La Raiba Hanifida Training Center Jombang. Semoga beliau berdua senantiasa dalam keridhoan dan naungan Cinta Yang Maha.


 


==============================================================


Kudus, 13 Januari 2012. Menjelang maghrib.

Saturday, January 7, 2012

Mereka Yang Kucinta, Orang-orang Sederhana Yang Luar Biasa

Selepas Isya' kami berkumpul untuk kesekian kali guna membicarakan aturan-aturan di asrama yang belum lama kami huni. Lima belasan orang dengan beragam usia bertukar kata, debat kecil dan usulan silih berganti mengalir.

"Iuran lima puluh ribu sebulan itu murah!" kataku.

Beberapa rekan menganguk-anguk tanda setuju, beberapa yang lain diam dalam kebisuan.

"Coba saja kita makan di warung sebelah, paling tidak sekali makan habis tiga ribuan, kalikan saja tiga puluh hari, sudah 90 ribu! Itu kalau makannya cuma sekali, kalau tiga kali? hitung saja sendiri."

Aku berhenti sejenak, sembari melihat beberapa wajah yang masih ragu dengan argumenku.

"Kalau ini cukup dengan 50 ribu per orang, kita bisa makan tiga kali sehari meski dengan lauk seadanya. Disamping itu kita juga bisa mengeratkan kebersamaan, senasib sepenanggungan."

Untuk meyakinkan mereka, kusodorkan coretan-coretan kecil rencana anggaran yang kubuat sebelum rapat.

Namun argumenku tak mempan bagi sebagian orang. Mereka tetap keberatan dengan uang makan yang hanya 50 ribu sebulan, dan lebih memilih memenuhi kebutuhan mereka sendiri-sendiri.

Tiga orang tetap dengan pendapatnya, keberatan dengan makan bersama. Saat ditanya kenapa, mereka bersikukuh diam seribu bahasa, tak mengungkapkan alasan apa pun. "Pokoknya kami keberatan." kata ketiganya.

Batinku, "Maunya apa orang-orang ini, diajak bersama kok tidak mau." Rasa dongkol, heran, sebal bercampur jadi satu.

"Mas, keterbukaan itu perlu, agar tidak timbul su'udzon di antara kita. Apalagi kita tinggal bersama, berkumpul sehari semalam di bawah satu atap." Mas Dayat, seorang yang usianya jauh di atas kami mencoba menengahi.

Lama kami menanti jawaban tiga kawan yang keberatan, akhirnya satu orang buka suara.

"Maaf kalau misalnya saya, kami, membuat teman-teman jengkel, sebenarnya saya malu untuk mengungkapkan ini. Bukan karena saya tidak ingin bersama-sama atau pelit untuk iuran. Tapi memang terus terang saja saya tidak mampu."

Aku menatap ia heran dan membatin "Tidak mampu? 50 ribu sebulan tidak mampu? Padahal asrama, fasilitas dan biaya pendidikan di ma'had ini sudah gratis semua. Memangnya uang sakunya berapa sampai bilang tidak mampu?"

Ia melanjutkan tuturannya, setelah tadi diam sejenak. "Saya kesini sebulan hanya dibekali 5 kg beras dan uang saku 10 sampai 15 ribu untuk beli kebutuhan saya, maka itu saya tidak bisa ikut iuran yang 50 ribu itu..."

Dan tiba-tiba ruangan ini terasa hening. Lidahku kelu untuk memberi komentar, hanya ada sesal dalam yang kurasakan. Saat dua orang yang lain ikut buka suara, rasa sesalku semakin menyesakkan. Dua orang yang lain tak jauh berbeda dengan orang pertama, yang satu hanya dibekali uang saku 20 ribu untuk ongkos jalan dan satu karung nasi jagung. Yang seorang lagi malah tak membawa apa-apa kecuali pakaiannya saja, karena memang orang tuanya sudah tidak sanggup memberi uang saku. Tanpa bekal dan hanya bermodal tawakal dia tinggalkan kota kelahiran demi menghafal Qur'an.

Dan aku pun merasa kerdil di hadapan mereka, tiga orang yang terus berusaha mencari jalan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan demi kemuliaan di sisi Yang Maha Besar. Dalam kesempitan mereka tak pupus harapan, dengan keadaan mereka yang serba kekurangan mereka tetap merentas usaha tanpa peduli kesulitan. Entah seberapa dalam keyakinan mereka bahwa Allah senantiasa memberi jalan kemudahan, dan membersamai setiap langkah yang mereka ayunkan.

Jalan tengah pun diambil, tak ada ketentuan iuran, maka setiap orang memberikan apa yang dipunya dan disanggupinya. Berapa pun itu akan diterima dan digunakan bersama. Akhirnya tak hanya nilai kebersamaan yang kami dapatkan namun juga merasakan bagaimana sikap itsar dan pengorbanan itu dilakukan. "Agar tidak mengurangi rasa kebersamaan dan juga agar tak menjadikan beban, maka hanya ada nasi, untuk lauk pauknya cari sendiri-sendiri." Kata-kata itu menutup pertemuan kami malam itu.

Dan hari-hari pun kami lalui bersama, kudapati kehidupan mereka yang sederhana yang tak sedikit membuatku malu akan keadaan diriku. Suatu saat kulihat seorang dari mereka menyeduh sebungkus mie instan untuk lauk sarapan, "Kenapa tidak dihabiskan?" tanyaku spontan karena kulihat masih ada sisa mie yang ada di piringnya. "Nanti saja," jawabnya sembari tersenyum. Rupanya memang ia sengaja menyisakannya, dan baru disini kulihat sebungkus mie instan untuk lauk tiga kali makan!

Di lain waktu saat aku masuk dapur mereka menawariku untuk makan bersama. Kami duduk melingkari sebuah nampan berisi nasi, dan bagaimana hatiku tak tersentuh saat kudapati mereka makan hanya berlauk dengan garam? Baru disini pula kudapati sebungkus kerupuk adalah lauk yang mewah. Namun tak kulihat wajah susah hanya karena makanan yang jauh dari kata sederhana. Mereka tetap menyuapkan makanan dengan senyuman seakan itu memang bukan hal yang luar biasa, kesusahan-kesusahan ini begitu mereka nikmati. Jangan tanya tentang sayur atau pun telur, lebih-lebih ayam. Sekedar gorengan saja mereka teramat jarang memakannya. Sambal dan kecap itu sudah lauk ternikmat.

Betapa menyedihkan keadaanku, betapa memalukannya diriku, betapa aku tak ada apa-apanya berhadapan dengan mereka. Saat 10 ribu, 20 ribu bahkan 50 ribu habis dalam sehari hanya sekedar untuk hal-hal yang tanpa manfaat, bermain di warnet, beli pulsa dan habis tanpa sisa untuk hal yang tak berguna, berjalan-jalan tanpa tujuan, membeli barang yang tak begitu penting, berbelanja sesuatu yang sebenarnya tak begitu dibutuhkan. Betapa jauh kemanfaatan harta ratusan ribu rupiah dalam sebulan yang kubelanjakan jika dibandingkan dengan 20 ribu yang mereka gunakan untuk bekal menghafal Qur'an! Betapa harta yang kugunakan itu kini tak ada nilainya?

Ah, dua puluh ribu milik mereka bisa mereka banggakan di hadapan pertanyaan saat hari perhitungan. "Untuk apa hartamu yang dua puluh ribu itu?" Mereka bisa menjawab, "Untuk bekal menuntut ilmu, menghafal Kalam-Mu wahai Yang Maha Satu." Dan bagaimana aku akan menjawab jika aku ditanya, "Untuk apa harta ratusan ribumu itu?"
Kelu.. kelu... malu... malu ... ampuni aku wahai Rabbku.

Wahai para sahabat yang senantiasa kukenang dan kurindukan. Terima kasih telah memberiku bermacam pelajaran. Tentang Ketulusan, keikhlasan, kesungguhan, kesetiakawanan dan banyak lagi. Hingga kini ku masih mencintai dan berharap kita kan bertemu lagi dan semoga di akhir nanti dikumpulkan di surga bersama para Nabi... Amin.

======================================================

Kudus, Selesai ditulis -setelah sekian lama tertunda- pada 6/01/2012. 17:10

Mengenang kalian, wahai para perentas jalan Qur'an. Santri-santri Ma'had Tahfidz Abu Bakar Ash Shiddiq Muntilan.  Sungguh, kerinduanku begitu menggebu...