Thursday, December 2, 2010

Izinkan Ia Buktikan Cinta

“Rambutnya mulai berubah warna.
Keperakan, menandakan usia yang beranjak senja.
Dalam mangu aku memandangi gurat-gurat di wajahnya.
Ayah, bunda, bakti ini memang belum seberapa,
tapi sungguh aku cinta…”
(Serpih Kata Di Sela Masa 1)


Foto itu selalu terselip di buku. Sudah lusuh, karena terlalu sering disentuh. Sebuah foto keluarga kecil yang tampak bahagia. Disana terlihat sepasang suami istri duduk di sebuah kursi panjang mengapit seorang gadis manis usia enam tahunan. Di belakang mereka berdiri dua anak lelaki usia belasan dengan senyum lebar penuh keceriaan.

Ia pandangi foto yang kini ada di tangannya. Matanya terpaku saat menatap dua wajah pasangan orangtua yang membesarkannya. Wajah ayah ibunya.

Dia sadar, di masa silam berulang kali selalu mengecewakan. Tak sekali dua dia matikan harapan yang diutarakan. Kemudian bertingkah semaunya tanpa peduli pada hati suami istri yang merawatnya sejak bayi.

Waktu pun berputar, dua insan yang katanya ia cinta tak lagi bisa dibilang muda, termakan usia dengan uban tumbuh di kepala. Namun ia tetap rasakan kasih sayang keduanya yang tak lekang, jua rasa cinta yang tak pudar. Bukan lagi sebuah keasingan jika kerinduan dan kekhawatiran mereka muncul saat ia bepergian. Dan elusan di kepala, juga kecupan di pipi atau dahi tak pernah bersudah meski ia tak lagi bocah.

Ingatannya menari, menghadirkan memori demi memori. Kenakalan demi kenakalan yang ia lakukan. Keengganan demi keengganan saat dimintai bantuan. Bantahan demi bantahan saat nasehat disampaikan. Keluhan demi keluhan yang tak sedikit tumbuhkan kegundahan. Pinta demi pinta yang kadang tak masuk akal namun tetap diusahakan.

Dan apa yang telah ia lakukan untuk keduanya? Balasan macam apa yang telah ia usahakan demi mengimbangi segala curah kasih mereka berdua? Tentu saja, saat ia ditanya, "Apakah engkau mencintai orang tua?" Ia akan dengan cepat menjawab "Ya!" Namun apa bukti cinta pada keduanya? Apakah rasa cinta yang hanya berupa kata tanpa bukti nyata mampu menggantikan segala yang telah diterima?

Bisakah ia mengganti perhatian dan penjagaan mereka sejak ia berada dalam kandungan?
Bisakah ia mengganti kesibukan dan kecemasaan di kala persalinan?
Bisakah ia mengganti malam-malam terjaga karena tangisan?
Bisakah ia mengganti air susu dan nutrisi yang telah ia telan?
Bisakah ia mengganti tetes keringat dan kelelahan yang sangat demi memenuhi kebutuhan sang anak?
Bisakah ia mengganti semua biaya pendidikan sejak ia tak kenal aksara hingga meraih gelar di belakang nama?
Bisakah ia mengganti segala pengajaran yang diberikan mulai dari disuapi hingga bisa makan sendiri, dikenalkan pada kata hingga bisa lancar bicara, keduanya juga siap menopang hingga ia mampu berjalan bahkan bisa lari mengejar.

Bisakah ia? Bisakah ia mengganti itu semua?

Keduanya mencurahkan segala daya demi harap akan kehidupan yang mapan dan cemerlang bagi buah hati tersayang. Tak hanya sehari dua hari, tak hanya setahun dua tahun, namun sepanjang usia yang mereka punya. Sejak ia dilahirkan ke dunia hingga batas akhir saat keduanya menutup mata. Tanpa jeda mereka berikan semua yang dipunya, tenaga, usaha, harta bahkan linang air mata.

Betapa tak punya hati jika ia melupakan segala apa yang diterima dari orang tua. Betapa tak punya budi jika balasan yang diberikan berkebalikan dengan pengorbanan yang dicurahkan.

Akankah ia balas belaian dan sentuhan sayang dengan corengan memalukan karena tingkah yang jauh dari adab kesopanan?
Akankah ia balas nasehat menuju kebaikan dengan cemoohan dan pembangkangan atas nilai-nilai ketuhanan?
Akankah ia balas pengajaran yang disampaikan dan harapan yang ditanamkan dengan ketidakpedulian dan keegoisan?
Durhakalah ia jika demikian. Durhaka berlipat ganda. Durhaka hingga kerak buana.

Selamanya tak akan tergantikan dengan sempurna. Semuanya tak mungkin dibalas hingga impas. Tak ada yang lebih pantas dilakukan kecuali membuat keduanya senantiasa sunggingkan senyuman setiap kali memandang. Bukan sekedar senyum biasa, melainkan senyum kelegaan, senyum kebanggaan dan senyum kesyukuran yang terus menghiasi hari saat mendapati sang buah hati telah tumbuh dalam balutan ajaran para nabi.

Tuntunan jalan akhirat telah sampaikan ayat demi ayat. Sebuah perintah sebagai langkah penghargaan atas kebajikan yang didapatkan.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Isro': 23-24)

Memang ia tak kan kuasa persembahkan bakti dan cinta yang sempurna, yang sebanding dengan segala limpahan dari keduanya. Hanya ada cita sebagai bukti cinta. Ada tekad yang lekat demi hutang budi yang tak kan terlunasi hingga ia mati. Harapnya menjadi pribadi terpuji yang bisa menjadi penyejuk mata bagi keduanya di hari tua. Inginnya menjadi anak penuh bakti yang akrab dengan kesholihan dan senantiasa mendoakan kebaikan. Asanya menggelora tuk persembahkan hadiah terindah yang tak ada duanya di alam fana, mendapati keduanya dianugerahi mahkota permata di kehidupan berikutnya, dibebaskan dari siksa dan dianugerahi bahagia tanpa jeda, di surga. Mohonnya pada yang maha agar segala niat dan tekad, segala cita dan asa segera terwujud nyata sebagai bentuk cintanya pada orang tua yang membesarkannya. Duhai yang Kuasa, izinkan ia buktikan cintanya pada keduanya….


 


[Kudus, sepanjang November 2010]