Monday, January 23, 2012

Wahai Yang Maha Satu, Ampuni aku ...

Wahai diri, tak kah kau gentar?
Adakah peringatan yang datang tak buatmu gemetar.
Tak kah kau takut akan akhir dalam kesia-siaan?


Saat nyawa tak lagi lekat pada raga.
Dan saat kau kan ditanya tentang apa yang kau lakukan di dunia.
Tak kah kau dengar tentang beratnya siksa
bagi kaum yang tak indahkan peringatan dari Yang Kuasa?


Ku telah dengar,
ku telah temukan dari bacaan-bacaan,
juga dari lisan para penyeru kebenaran.
Namun kenapa ku tak juga mampu gerakkan sendi-sendiku menuju kebaikan?
Ataukah aku telah terikat pada keburukan dan ditakdirkan untuk menemani setan
yang telah dituliskan sebagai ahlun naar?
Betapa menyedihkan jika demikian?


Betapa malangnya jika di akhir nanti ku dibelenggu bersama-sama manusia durhaka,
yang ingkar pada kebesaran Yang Maha.
Betapa sengsara bila ku dilemparkan ke neraka
dengan siksa yang tak ada habis-habisnya.
Betapa tak beruntungnya... betapa tak beruntungnya...


Wahai Yang Maha Satu, Ampuni aku... ampuni aku...
Saat kemaksiatan selalu saja kuulang.
Saat kemalasan selalu saja tak bisa kuenyahkan.
Saat keengganan menuju kebaikan selalu saja bersemayam.
Saat seruan kebenaran tak juga kuindahkan.
Saat ayat-ayat-Mu berlalu tanpa kurenungkan, tanpa kuambil pelajaran.
Saat segala ajaran islam tak kupedulikan...


Wahai Yang Maha Satu, Ampuni aku... ampuni aku...
atas kelemahanku,
atas kebodohanku,
atas ketdakpatuhanku,
atas pembangkanganku,
atas ketidakridhoanku akan putusan-Mu,
atas kemalasan dan keengganan dalam menuju-Mu,
atas segala dosa dan kesalahan yang telah lalu...


Wahai Yang Maha satu, Ampuni aku... ampuni aku...
Jangan, jangan gabungkan  aku dengan mereka,
para pendurhaka yang tak juga percaya pada kebesaran dan kuasa-Mu
Jangan, jangan jadikan aku berkumpul dengan mereka,
orang-orang yang ingkar dan selalu menentang perintah-perintah-Mu.
Jangan, jangan jadikan aku bagian dari mereka,
orang-orang yang selalu mencari-cari alasan pembenaran sebuah kesalahan,
yang meminta pemakluman namun tak juga bersegera dan terus saja menunda pertaubatan.
Jangan, jangan Kau cabut keimanan yang bersemayam di dada,
Jangan Kau jadikan kecenderunganku untuk bersama dengan para hamba dunia...


Wahai Yang Maha satu, Ampuni aku... ampuni aku...
Mohonku sangat, Jangan jadikan aku terlaknat
Harapku dalam cekat,
ku kan tercatat menjadi bagian dari orang-orang yang bertaubat
=============================================
Kudus, 23/01/2012

Saturday, January 14, 2012

Dua Pendidik Itu Mengesankanku -sebuah catatan perjalanan ke Jombang-

Senin, 9 Januari 2012, kurang lebih Pukul 21.00, benda mungil yang kupegang berdering. Hmm sebuah nomor asing. Saat kuangkat terdengar suara perempuan. "Ustadz Arifin? Sampai mana?" sapanya setelah mengucap salam. "Sebentar bu, ini orangnya disamping saya." jawabku. Kusodorkan HP itu ke rekan yang sedang memegang setir. Dan terdengarlah percakapan dengan bahasa Jawa campur dengan bahasa nasional kita, Indonesia. "Nggih insya Allah jadi kesana bu. Niki nembe perjalanan. Mungkin sampai disana radi dalu. menawi bade tindak ditinggal mawon bu, dalem sak rencang sowanipun besok saja kalau begitu." Dan kudengar suara samar-samar jawaban ibu tadi dari seberang , "Malam ini sampainya juga tidak apa-apa. saya tunggu."


Benar saja, kami sampai tujuan sudah terlalu malam untuk bertamu, pukul 23.00 wib. Tapi pintu rumah yang kami tuju masih terbuka, dan pasangan suami istri itu tetap menyambut kami dengan hangat, menjamu kami dengan makanan dan melayani percakapan demi percakapan hingga larut malam. Saat jarum jam menunjukkan pukul 00.30. kami pun undur diri.


Setelah semalaman sengaja tidur di dalam kendaraan agar tidak tambah merepotkan tuan rumah. Esok paginya kami kembali. Dan lagi-lagi kami dijamu seperti saat kami datang semalam. Disambut dengan hangat dan dipersilahkan untuk sarapan. Kali ini bukan hanya pasangan suami istri itu saja yang menemani tapi ditambah dengan dua orang pemuda murid mereka, Islah dan Badruzzaman. Di tengah-tengah menikmati sarapan, muncul seorang tukang koran yang hendak menagih iuran langganan bulanan. Spontan pasangan tuan rumah dan dua orang muridnya itu mempersilahkan si tukang koran untuk masuk dan ikut makan bersama. "Kalau tidak sarapan dulu uangnya tidak saya bayarkan lho." Canda si ibu. Dan dengan malu-malu tukang koran itu pun duduk bersama dengan kami, mengambil nasi dan hanya mengambil lauk sederhana,kering tempe. "Itu bapaknya dilayani Is." kata si ibu. "Pakai ini pak," kata Islah sambil menaruh sepotong bebek goreng di piring sang tukang koran. "Ini juga dipakai." katanya lagi, kali ini telur asin. "Sampun... sampun." Kata si tukang koran. Aku tersenyum melihat pemandangan itu. Betapa ramahnya, betapa mereka bisa bersikap begitu biasa dengan siapa saja. Tak ada strata, entah ia tukang koran, ustadz pesantren, murid-muridnya siapa pun itu tak mereka bedakan perlakuannya.


Setelah perangkat hidangan diangkat, kami berbincang dengan sang ibu. Selama tiga jam kami bercakap ada banyak ilmu yang kami dapat. Petuah demi petuah yang disampaikan tanpa ada kesan menggurui atau nada menasehati. Melalui cerita ia mengajak kami merenungi kehidupan yang dijalani. Diantaranya beliau berujar, "Setiap manusia pasti diberi cobaan baik lewat anaknya, istrinya, suaminya, harta, jabatan, banyak hal. Kadang ada orang yang sebelumnya ada di atas tiba-tiba berada di titik paling bawah, Sebelum jadi seperti ini kami pun pernah di angkat oleh Allah dengan kondisi berkecukupan, namun tiba-tiba dicoba dengan kekurangan harta hingga serendah-rendahnya. Bahkan rumah ini juga sempat hampir di jual. Dan sekarang diangkat kembali, metode Hanifida itu ditemukan saat kami ada di titik terendah. Memang semua itu liyabluakum ayyukum ahsanu 'amala, cobaan itu untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya...."


Ah, perjalanan yang memberi banyak pelajaran. Dan kami pun pulang dengan membawa kesan menawan tentang dua pendidik yang tinggal di Jombang. Mereka Yang telah memberi kami ilmu dalam pertemuan yang singkat itu, menyambut kami di tengah-tengah kesibukan mereka, memuliakan kami yang datang di saat jam-jam istirahat malam. Mereka adalah Dr. Hanifuddin Mahadun,M.Ag dan Dr. Khoirotul Idawati Mahmud, M.Pd.I, Penemu metode menghafal Hanifida, Master trainer yang telah menyampaikan materi-materi temuan mereka di berbagai kota di Indonesia, dan pemilik pesantren La Raiba Hanifida Training Center Jombang. Semoga beliau berdua senantiasa dalam keridhoan dan naungan Cinta Yang Maha.


 


==============================================================


Kudus, 13 Januari 2012. Menjelang maghrib.

Saturday, January 7, 2012

Mereka Yang Kucinta, Orang-orang Sederhana Yang Luar Biasa

Selepas Isya' kami berkumpul untuk kesekian kali guna membicarakan aturan-aturan di asrama yang belum lama kami huni. Lima belasan orang dengan beragam usia bertukar kata, debat kecil dan usulan silih berganti mengalir.

"Iuran lima puluh ribu sebulan itu murah!" kataku.

Beberapa rekan menganguk-anguk tanda setuju, beberapa yang lain diam dalam kebisuan.

"Coba saja kita makan di warung sebelah, paling tidak sekali makan habis tiga ribuan, kalikan saja tiga puluh hari, sudah 90 ribu! Itu kalau makannya cuma sekali, kalau tiga kali? hitung saja sendiri."

Aku berhenti sejenak, sembari melihat beberapa wajah yang masih ragu dengan argumenku.

"Kalau ini cukup dengan 50 ribu per orang, kita bisa makan tiga kali sehari meski dengan lauk seadanya. Disamping itu kita juga bisa mengeratkan kebersamaan, senasib sepenanggungan."

Untuk meyakinkan mereka, kusodorkan coretan-coretan kecil rencana anggaran yang kubuat sebelum rapat.

Namun argumenku tak mempan bagi sebagian orang. Mereka tetap keberatan dengan uang makan yang hanya 50 ribu sebulan, dan lebih memilih memenuhi kebutuhan mereka sendiri-sendiri.

Tiga orang tetap dengan pendapatnya, keberatan dengan makan bersama. Saat ditanya kenapa, mereka bersikukuh diam seribu bahasa, tak mengungkapkan alasan apa pun. "Pokoknya kami keberatan." kata ketiganya.

Batinku, "Maunya apa orang-orang ini, diajak bersama kok tidak mau." Rasa dongkol, heran, sebal bercampur jadi satu.

"Mas, keterbukaan itu perlu, agar tidak timbul su'udzon di antara kita. Apalagi kita tinggal bersama, berkumpul sehari semalam di bawah satu atap." Mas Dayat, seorang yang usianya jauh di atas kami mencoba menengahi.

Lama kami menanti jawaban tiga kawan yang keberatan, akhirnya satu orang buka suara.

"Maaf kalau misalnya saya, kami, membuat teman-teman jengkel, sebenarnya saya malu untuk mengungkapkan ini. Bukan karena saya tidak ingin bersama-sama atau pelit untuk iuran. Tapi memang terus terang saja saya tidak mampu."

Aku menatap ia heran dan membatin "Tidak mampu? 50 ribu sebulan tidak mampu? Padahal asrama, fasilitas dan biaya pendidikan di ma'had ini sudah gratis semua. Memangnya uang sakunya berapa sampai bilang tidak mampu?"

Ia melanjutkan tuturannya, setelah tadi diam sejenak. "Saya kesini sebulan hanya dibekali 5 kg beras dan uang saku 10 sampai 15 ribu untuk beli kebutuhan saya, maka itu saya tidak bisa ikut iuran yang 50 ribu itu..."

Dan tiba-tiba ruangan ini terasa hening. Lidahku kelu untuk memberi komentar, hanya ada sesal dalam yang kurasakan. Saat dua orang yang lain ikut buka suara, rasa sesalku semakin menyesakkan. Dua orang yang lain tak jauh berbeda dengan orang pertama, yang satu hanya dibekali uang saku 20 ribu untuk ongkos jalan dan satu karung nasi jagung. Yang seorang lagi malah tak membawa apa-apa kecuali pakaiannya saja, karena memang orang tuanya sudah tidak sanggup memberi uang saku. Tanpa bekal dan hanya bermodal tawakal dia tinggalkan kota kelahiran demi menghafal Qur'an.

Dan aku pun merasa kerdil di hadapan mereka, tiga orang yang terus berusaha mencari jalan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan demi kemuliaan di sisi Yang Maha Besar. Dalam kesempitan mereka tak pupus harapan, dengan keadaan mereka yang serba kekurangan mereka tetap merentas usaha tanpa peduli kesulitan. Entah seberapa dalam keyakinan mereka bahwa Allah senantiasa memberi jalan kemudahan, dan membersamai setiap langkah yang mereka ayunkan.

Jalan tengah pun diambil, tak ada ketentuan iuran, maka setiap orang memberikan apa yang dipunya dan disanggupinya. Berapa pun itu akan diterima dan digunakan bersama. Akhirnya tak hanya nilai kebersamaan yang kami dapatkan namun juga merasakan bagaimana sikap itsar dan pengorbanan itu dilakukan. "Agar tidak mengurangi rasa kebersamaan dan juga agar tak menjadikan beban, maka hanya ada nasi, untuk lauk pauknya cari sendiri-sendiri." Kata-kata itu menutup pertemuan kami malam itu.

Dan hari-hari pun kami lalui bersama, kudapati kehidupan mereka yang sederhana yang tak sedikit membuatku malu akan keadaan diriku. Suatu saat kulihat seorang dari mereka menyeduh sebungkus mie instan untuk lauk sarapan, "Kenapa tidak dihabiskan?" tanyaku spontan karena kulihat masih ada sisa mie yang ada di piringnya. "Nanti saja," jawabnya sembari tersenyum. Rupanya memang ia sengaja menyisakannya, dan baru disini kulihat sebungkus mie instan untuk lauk tiga kali makan!

Di lain waktu saat aku masuk dapur mereka menawariku untuk makan bersama. Kami duduk melingkari sebuah nampan berisi nasi, dan bagaimana hatiku tak tersentuh saat kudapati mereka makan hanya berlauk dengan garam? Baru disini pula kudapati sebungkus kerupuk adalah lauk yang mewah. Namun tak kulihat wajah susah hanya karena makanan yang jauh dari kata sederhana. Mereka tetap menyuapkan makanan dengan senyuman seakan itu memang bukan hal yang luar biasa, kesusahan-kesusahan ini begitu mereka nikmati. Jangan tanya tentang sayur atau pun telur, lebih-lebih ayam. Sekedar gorengan saja mereka teramat jarang memakannya. Sambal dan kecap itu sudah lauk ternikmat.

Betapa menyedihkan keadaanku, betapa memalukannya diriku, betapa aku tak ada apa-apanya berhadapan dengan mereka. Saat 10 ribu, 20 ribu bahkan 50 ribu habis dalam sehari hanya sekedar untuk hal-hal yang tanpa manfaat, bermain di warnet, beli pulsa dan habis tanpa sisa untuk hal yang tak berguna, berjalan-jalan tanpa tujuan, membeli barang yang tak begitu penting, berbelanja sesuatu yang sebenarnya tak begitu dibutuhkan. Betapa jauh kemanfaatan harta ratusan ribu rupiah dalam sebulan yang kubelanjakan jika dibandingkan dengan 20 ribu yang mereka gunakan untuk bekal menghafal Qur'an! Betapa harta yang kugunakan itu kini tak ada nilainya?

Ah, dua puluh ribu milik mereka bisa mereka banggakan di hadapan pertanyaan saat hari perhitungan. "Untuk apa hartamu yang dua puluh ribu itu?" Mereka bisa menjawab, "Untuk bekal menuntut ilmu, menghafal Kalam-Mu wahai Yang Maha Satu." Dan bagaimana aku akan menjawab jika aku ditanya, "Untuk apa harta ratusan ribumu itu?"
Kelu.. kelu... malu... malu ... ampuni aku wahai Rabbku.

Wahai para sahabat yang senantiasa kukenang dan kurindukan. Terima kasih telah memberiku bermacam pelajaran. Tentang Ketulusan, keikhlasan, kesungguhan, kesetiakawanan dan banyak lagi. Hingga kini ku masih mencintai dan berharap kita kan bertemu lagi dan semoga di akhir nanti dikumpulkan di surga bersama para Nabi... Amin.

======================================================

Kudus, Selesai ditulis -setelah sekian lama tertunda- pada 6/01/2012. 17:10

Mengenang kalian, wahai para perentas jalan Qur'an. Santri-santri Ma'had Tahfidz Abu Bakar Ash Shiddiq Muntilan.  Sungguh, kerinduanku begitu menggebu...