Sunday, April 29, 2012

Karena Iman dan Taqwa, Bukan Darah dan Bangsa

Mereka terhina di awal mula. Mereka diperjualbelikan layaknya barang, bekerja tanpa upah, dan tak jarang mengalami siksaan tanpa ada pembelaan. Golongan budak memang tak memiliki hak yang sama dengan orang merdeka. Bahkan kehidupan yang mereka punya adalah milik tuannya. Saat islam datang dan dada mereka dipenuhi keimanan maka semua berubah. Mereka pun menjadi orang-orang mulia, tak jauh berbeda dengan bangsawan atau pun golongan terkemuka.

Di antara mereka ada Bilal bin Rabbah, sebelum islam ia adalah budak milik Umayyah bin Khalaf seorang pembesar di kalangan Quraisy. Di awal keislamannya siksaan dan deraan dari sang majikan selalu ia terima. Hingga akhirnya Abu Bakar Ash Shiddiq membelinya dan memerdekakannya. Saat cahaya Islam semakin benderang di Madinah, ia didaulat menjadi muadzin Rasulullah saw. Para sahabat yang lain pun menghormatinya, misalnya Umar ketika ditanya mengenai Abu Bakar dia selalu menyertakan Bilal dengan menjawab, ”Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita.” Lelaki hitam mantan budak ini adalah lelaki surga, Rasulullah pernah mengabarkan padanya bahwa pada malam mi’raj beliau mendengar suara terompah Bilal di sana. Betapa mulianya, kasta memang tak berlaku, taqwalah yang selayaknya dituju.

Ada pula Ammar bin Yasir. Ayahnya memang merdeka, namun dia hanya seorang pendatang dari Yaman. Sedang ibunya, Sumayyah, adalah salah satu budak Ibnul Mughirah. Statusnya yang anak budak telah menjadikan Ammar berada dalam kasta rendahan di kalangan Quraisy. Maka di awal keislamannya ia dan keluarganya tak luput dari siksaan hingga harus kehilangan kedua orang tua di depan mata. Namun kedudukannya di kalangan umat islam begitu istimewa. Rasulullah SAW. begitu sayang padanya, hingga ketika beliau mendengar bahwa Khalid bin Walid bertengkar dengan Ammar, Rasulullah SAW langsung berkata pada Khalid, “Hai Khalid, siapa yang memaki-maki Ammar bin Yasir, Allah akan memaki-maki dia. Barang siapa yang memusuhinya, Allah akan menjadi musuh dia. Barangsiapa yang merendahkan Ammar, Allah pun akan merendahkan dia.” Demikianlah kedudukan Ammar bin Yasir dihadapan Allah dan Rasul-Nya. Dan akhirnya, di perang Shiffin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ia dianugerahi kesyahidan, Setelah jasadnya dikuburkan, para sahabat kemudian berkumpul dan saling berbincang. Salah seorang berkata, “Apakah kau masih ingat waktu sore hari itu di Madinah, ketika kita sedang duduk-duduk bersama Rasulullah SAW dan tiba-tiba wajahnya berseri-seri lalu bersabda, "Surga telah merindukan Ammar?"
Ya, memang dia pernah terhina, disiksa dan sempat dipandang sebelah mata, namun surga telah lama merinduinya.

Disana juga ada Salim. Seorang mantan budak milik sahabat Rasulullah, Abu Hudzaifah. Setelah Abu Hudzaifah masuk islam maka Salim pun dimerdekakan dan diangkat menjadi anaknya. Namun setelah turun larangan menisbatkan anak angkat kepada sosok yang bukan ayah kandungnya, maka Salim yang tidak dikenal siapa bapaknya, menghubungkan diri kepada orang yang telah membebaskannya hingga dipanggil Salim maula Abu Hudzaifah. Meski pun ia mantan budak, itu tak mengurangi kemuliaanya, dialah yang menjadi imam bagi orang-orang yang hijrah dari Mekah ke Madinah setiap mereka shalat di masjid Quba, ia juga tempat bertanya tentang isi Kitabullah, dan Rasulullah pun memerintahkan para sahabatnya untuk belajar Al Qur’an padanya dengan bersabda, “Ambillah olehmu al-Quran itu dari empat orang, yaitu: Abdullah bin Mas’ud, Salim maula Abu Hudzaifah, Ubai bin Ka’ab dan Mu’adz bin Jabal.”
Di saat perang Yamamah, memerangi Musailamah sang nabi palsu, ia bersama Abu Hudzaifah berjuang bersama, Dan akhirnya ia menjadi salah satu dari 70 penghafal Al Qur’an yang syahid di perang itu. Di sampingnya juga telah terbaring mantan majikannya yang telah menjadi layaknya saudara. Sebuah akhir yang indah, dua saudara yang masuk islam bersama, hidup bersama, dan mati pun bersama.

Ada juga Salman Al Farisi, meski ia berasal dari Parsi dan merupakan putra tokoh disana ia pernah merasakan menjadi budak milik seorang Yahudi di Madinah. Semua dilaluinya demi menemui penghulu para Nabi yang ia nanti-nanti. Saat Rasulullah hijrah ke Madinah ia pun menyatakan keislamannya. Dengan statusnya yang masih budak, ia tak bisa mengikuti Rasulullah berjihad di Badar dan Uhud. Maka saat Rasulullah tahu keadaannya beliau pun bersama para sahabat menebus kemerdekaannya. Ketika perang Ahzab, Salman mengeluarkan gagasan cemerlang dengan mengusulkan untuk menggali parit demi melindungi kota Madinah. Strategi ini berhasil menahan sekitar sepuluh ribu pasukan musuh. Ia pun dijuluki Luqman Al Hakim karena keluasan pengetahuannya. Sahabat yang mantan budak ini juga pernah diperebutkan oleh kaum Muhajirin dan Anshor karena keutamaannya, kala itu kaum Anshar serentak berdiri dan berkata: “Salman dari golongan kami”. Bangkitlah pula kaum Muhajirin, kata mereka: “Tidak, ia dari golongan kami!” Maka Rasulullah pun menengahi, “Bukan keduanya, tapi Salman adalah bagian dari kami, dari ahlil bait.” Salman, dia orang asing, bukan seorang arab, pernah pula menjadi budak, namun karena keutamaan yang dimiliki, ia pun diakui termasuk golongan keluarga Nabi.

Demikianlah, kemuliaan seseorang bukanlah didasarkan pada trah keturunan atau dari bangsa apa seseorang dilahirkan. Kemuliaan sejati didapat karena keteguhan iman dan tingkat ketaqwaan, juga dengan ilmu dan keahlian yang bisa memberi kemanfaatan pada sekian banyak orang.
Wallahu a’lam.



Kudus, 9-10 Maret 2012
By. A.E.M
==============================
Telah Dimuat di Buletin Madani edisi:15 / bulan maret 2012