Pagi itu, aku bertemu dengannya di sebuah serambi masjid tempatku menginap semalam. Sapaannya masih ramah, pembicaraannya masih sarat dengan cerita dan hikmah. Satu yang kusuka darinya, kata-katanya selalu memberi sesuatu yang baru untukku.
Calon dokter di depanku itu awalnya menanyakan kabarku yang sudah lama tak bertemu. Selanjutnya kami berbagi cerita tentang kegiatan dakwahnya. Pembicaraan pun melebar tentang suka duka menjalani program koastnya di beberapa Rumah Sakit. Sesekali aku bertanya tentang istilah-istilah kedokteran, kasus-kasus para pasien yang ia hadapi saat koast, sebab sebuah penyakit dan penanggulangannya dan sebagainya. Sungguh dia sosok yang tak pelit untuk berbagi ilmu.
"Ayo ke kostku." tawaran itu tak mungkin kutolak, karena kerinduan yang lekat pada seorang sahabat. Dan kupastikan akan ada hiburan jiwa yang sedang menanti disana.
"Antum sudah sarapan?" tanyanya di tengah perjalanan. Aku menggeleng sembari menjawab, "belum." Mendengar itu, ia menghentikan sepeda motor yang kami kendarai di sebuah kios kecil. Bukan warung makan atau restoran, tapi warung sayuran. Sejenak aku heran dibuatnya .
Dia turun dari kendaran, menegur ibu-ibu penjual sayur dan berbaur dengan wanita setengah baya yang tengah berbelanja. Kemudian tanpa canggung dan malu, ia memilih daun kangkung, daging ayam yang masih segar dan beberapa jenis bumbu. Takjubku pada pemuda itu, mungkin aku takkan heran jika yang melakukan semua itu adalah rekan-rekan santri di pesantren tradisional yang pernah kujumpai di daerah pesisir pantai utara, karena mereka memang biasa dengan urusan dapur dan belanja. Atau kalau dia seorang mahasiswa dengan uang saku pas-pasan yang tidak mampu makan di warung makan itu pun juga tak akan membuatku heran.
Tapi dia? Dia lulusan SMA Negeri, belum pernah hidup susah di pesantren. Sosok orang rumahan yang segala kebutuhannya biasa disediakan. Dia mahasiswa berada, kalau pun dia mau bisa saja makan lima kali sehari di tempat yang berbeda.
Dan aku pun hanya bisa membatin "Inikah buah dari tarbiyah islamiyah?" Pemuda yang lumayan tampan, terpelajar, calon dokter pula namun tidak gengsi untuk berbelanja sayuran di warung kecil bersama ibu-ibu setengah baya. Layaknya sahabat-sahabat Nabi, yang meski mengisi posisi tertinggi tetap saja rendah hati. Layaknya Abu bakar yang meski menjadi khalifah tetap tak segan untuk memerahkan susu kambing bagi para janda. Atau Umar yang rela memanggul karung gandum untuk rakyatnya saat ia menjabat sebagai amirul mukminin.
Yah, wajar mereka punya karakter yang hampir sama dalam masalah ini, karena teladan mereka pun melakukan itu semua. Rasulullah biasa membantu istrinya melakukan pekerjaan rumah, mencuci pakaiannya sendiri dan juga melayani dirinya sendiri. Meskipun beliau adalah Rasul yang dijamin surga, beliau tetap rendah hati dan tak segan melakukan pekerjaan yang kadang dianggap mematikan gengsi. Padahal demikianlah jalan para Nabi, kesederhanaan dan rendah hati.
Duhai saudaraku yang darimu aku banyak mendapat ilmu, semoga reuni kita di surga terwujud nyata...
jazakalloh akhi,smoga bisa meniru istoqomahmu
ReplyDeleteTerima kasih mas Ardhi yang telah berbagi, saya sangat terharu membacaca goresan ini. semoga bermanfaat, dan lebih banyak lagi pemuda yang seperti calon dokter ini.
ReplyDeleteamin....
ReplyDeleteberteladan. semoga.
eh kapan har longgar
ReplyDeletekapan ya mas? sih durung prei ki..
ReplyDelete