Senja di Tursina
Meski diiringi sengal nafas
dan sendi-sendi kaki mulai melemas
senyum itu tak pernah lepas
menapaki satu-satu tangga batu
ditemani hembus syahdu sang bayu
kita kesana, mendaki puncaknya
menuju Tursina, demi mengenang musa
saat bercakap dengan Tuhannya
sembari menikmati warna-warna coklat pucat
dengan aura nan memikat
Hari mulai petang, sebuah panggilan pulang
dengan dirimu di gendongan belakang
menjulurkan tangan dari balik punggungku
dan menempelkan dagu dipundakku
karna kaki itu telah kaku
tak lagi mampu menapak batu-batu
tapi itu hanya mimpi hiasan malam
yang kau ceritakan dan entah
akan terwujud kapan
(awal April '10)
------------------------------------------------------------------------------------------------
"Mas? Doakan! Aku mau ujian"
Semalam, kurasakan
jemariku dalam genggam
dibalut samar setengah sadar
karna baringku yang belum tuntas benar
kupalingkan pandang
pada pemilik tangan lawan
Kudapati dirimu dengan buku di pangkuan
dan bicara lewat senyuman
"Mas, doakan. aku mau ujian"
Sembari lontarkan tatap heran,
kusunggingkan rekahan di bibir sebagai balasan
Jua angukan mengiyakan
kau pun teruskan bacamu,
masih dengan jemari yang menyatu.
Tiba-tiba kudengar ketukan di pintu
Diiringi teriakan teguran "Subuhan!!"
Lampu menyala, memaksa mata terbuka
memutus segala
dan tak kudapati lagi engkau disana
Yang ada hanya ranjang setengah berantakan
dengan tumpukan kertas coretan
di kiri kanan badan.
Duh, mimpi ini... seakan nyata di hadapan
(Serambi NH, 31 Mei '10)
No comments:
Post a Comment