Saturday, January 7, 2012

Mereka Yang Kucinta, Orang-orang Sederhana Yang Luar Biasa

Selepas Isya' kami berkumpul untuk kesekian kali guna membicarakan aturan-aturan di asrama yang belum lama kami huni. Lima belasan orang dengan beragam usia bertukar kata, debat kecil dan usulan silih berganti mengalir.

"Iuran lima puluh ribu sebulan itu murah!" kataku.

Beberapa rekan menganguk-anguk tanda setuju, beberapa yang lain diam dalam kebisuan.

"Coba saja kita makan di warung sebelah, paling tidak sekali makan habis tiga ribuan, kalikan saja tiga puluh hari, sudah 90 ribu! Itu kalau makannya cuma sekali, kalau tiga kali? hitung saja sendiri."

Aku berhenti sejenak, sembari melihat beberapa wajah yang masih ragu dengan argumenku.

"Kalau ini cukup dengan 50 ribu per orang, kita bisa makan tiga kali sehari meski dengan lauk seadanya. Disamping itu kita juga bisa mengeratkan kebersamaan, senasib sepenanggungan."

Untuk meyakinkan mereka, kusodorkan coretan-coretan kecil rencana anggaran yang kubuat sebelum rapat.

Namun argumenku tak mempan bagi sebagian orang. Mereka tetap keberatan dengan uang makan yang hanya 50 ribu sebulan, dan lebih memilih memenuhi kebutuhan mereka sendiri-sendiri.

Tiga orang tetap dengan pendapatnya, keberatan dengan makan bersama. Saat ditanya kenapa, mereka bersikukuh diam seribu bahasa, tak mengungkapkan alasan apa pun. "Pokoknya kami keberatan." kata ketiganya.

Batinku, "Maunya apa orang-orang ini, diajak bersama kok tidak mau." Rasa dongkol, heran, sebal bercampur jadi satu.

"Mas, keterbukaan itu perlu, agar tidak timbul su'udzon di antara kita. Apalagi kita tinggal bersama, berkumpul sehari semalam di bawah satu atap." Mas Dayat, seorang yang usianya jauh di atas kami mencoba menengahi.

Lama kami menanti jawaban tiga kawan yang keberatan, akhirnya satu orang buka suara.

"Maaf kalau misalnya saya, kami, membuat teman-teman jengkel, sebenarnya saya malu untuk mengungkapkan ini. Bukan karena saya tidak ingin bersama-sama atau pelit untuk iuran. Tapi memang terus terang saja saya tidak mampu."

Aku menatap ia heran dan membatin "Tidak mampu? 50 ribu sebulan tidak mampu? Padahal asrama, fasilitas dan biaya pendidikan di ma'had ini sudah gratis semua. Memangnya uang sakunya berapa sampai bilang tidak mampu?"

Ia melanjutkan tuturannya, setelah tadi diam sejenak. "Saya kesini sebulan hanya dibekali 5 kg beras dan uang saku 10 sampai 15 ribu untuk beli kebutuhan saya, maka itu saya tidak bisa ikut iuran yang 50 ribu itu..."

Dan tiba-tiba ruangan ini terasa hening. Lidahku kelu untuk memberi komentar, hanya ada sesal dalam yang kurasakan. Saat dua orang yang lain ikut buka suara, rasa sesalku semakin menyesakkan. Dua orang yang lain tak jauh berbeda dengan orang pertama, yang satu hanya dibekali uang saku 20 ribu untuk ongkos jalan dan satu karung nasi jagung. Yang seorang lagi malah tak membawa apa-apa kecuali pakaiannya saja, karena memang orang tuanya sudah tidak sanggup memberi uang saku. Tanpa bekal dan hanya bermodal tawakal dia tinggalkan kota kelahiran demi menghafal Qur'an.

Dan aku pun merasa kerdil di hadapan mereka, tiga orang yang terus berusaha mencari jalan untuk mendapatkan tambahan pengetahuan demi kemuliaan di sisi Yang Maha Besar. Dalam kesempitan mereka tak pupus harapan, dengan keadaan mereka yang serba kekurangan mereka tetap merentas usaha tanpa peduli kesulitan. Entah seberapa dalam keyakinan mereka bahwa Allah senantiasa memberi jalan kemudahan, dan membersamai setiap langkah yang mereka ayunkan.

Jalan tengah pun diambil, tak ada ketentuan iuran, maka setiap orang memberikan apa yang dipunya dan disanggupinya. Berapa pun itu akan diterima dan digunakan bersama. Akhirnya tak hanya nilai kebersamaan yang kami dapatkan namun juga merasakan bagaimana sikap itsar dan pengorbanan itu dilakukan. "Agar tidak mengurangi rasa kebersamaan dan juga agar tak menjadikan beban, maka hanya ada nasi, untuk lauk pauknya cari sendiri-sendiri." Kata-kata itu menutup pertemuan kami malam itu.

Dan hari-hari pun kami lalui bersama, kudapati kehidupan mereka yang sederhana yang tak sedikit membuatku malu akan keadaan diriku. Suatu saat kulihat seorang dari mereka menyeduh sebungkus mie instan untuk lauk sarapan, "Kenapa tidak dihabiskan?" tanyaku spontan karena kulihat masih ada sisa mie yang ada di piringnya. "Nanti saja," jawabnya sembari tersenyum. Rupanya memang ia sengaja menyisakannya, dan baru disini kulihat sebungkus mie instan untuk lauk tiga kali makan!

Di lain waktu saat aku masuk dapur mereka menawariku untuk makan bersama. Kami duduk melingkari sebuah nampan berisi nasi, dan bagaimana hatiku tak tersentuh saat kudapati mereka makan hanya berlauk dengan garam? Baru disini pula kudapati sebungkus kerupuk adalah lauk yang mewah. Namun tak kulihat wajah susah hanya karena makanan yang jauh dari kata sederhana. Mereka tetap menyuapkan makanan dengan senyuman seakan itu memang bukan hal yang luar biasa, kesusahan-kesusahan ini begitu mereka nikmati. Jangan tanya tentang sayur atau pun telur, lebih-lebih ayam. Sekedar gorengan saja mereka teramat jarang memakannya. Sambal dan kecap itu sudah lauk ternikmat.

Betapa menyedihkan keadaanku, betapa memalukannya diriku, betapa aku tak ada apa-apanya berhadapan dengan mereka. Saat 10 ribu, 20 ribu bahkan 50 ribu habis dalam sehari hanya sekedar untuk hal-hal yang tanpa manfaat, bermain di warnet, beli pulsa dan habis tanpa sisa untuk hal yang tak berguna, berjalan-jalan tanpa tujuan, membeli barang yang tak begitu penting, berbelanja sesuatu yang sebenarnya tak begitu dibutuhkan. Betapa jauh kemanfaatan harta ratusan ribu rupiah dalam sebulan yang kubelanjakan jika dibandingkan dengan 20 ribu yang mereka gunakan untuk bekal menghafal Qur'an! Betapa harta yang kugunakan itu kini tak ada nilainya?

Ah, dua puluh ribu milik mereka bisa mereka banggakan di hadapan pertanyaan saat hari perhitungan. "Untuk apa hartamu yang dua puluh ribu itu?" Mereka bisa menjawab, "Untuk bekal menuntut ilmu, menghafal Kalam-Mu wahai Yang Maha Satu." Dan bagaimana aku akan menjawab jika aku ditanya, "Untuk apa harta ratusan ribumu itu?"
Kelu.. kelu... malu... malu ... ampuni aku wahai Rabbku.

Wahai para sahabat yang senantiasa kukenang dan kurindukan. Terima kasih telah memberiku bermacam pelajaran. Tentang Ketulusan, keikhlasan, kesungguhan, kesetiakawanan dan banyak lagi. Hingga kini ku masih mencintai dan berharap kita kan bertemu lagi dan semoga di akhir nanti dikumpulkan di surga bersama para Nabi... Amin.

======================================================

Kudus, Selesai ditulis -setelah sekian lama tertunda- pada 6/01/2012. 17:10

Mengenang kalian, wahai para perentas jalan Qur'an. Santri-santri Ma'had Tahfidz Abu Bakar Ash Shiddiq Muntilan.  Sungguh, kerinduanku begitu menggebu...

3 comments:

  1. nuwun banget har....insya alloh aku akan berusaha menyusulmu...doakan aku wahai saudaraku...berharap dan sangat berharap semoga surga bisa jadi tempat bertemu...mohon doanya

    ReplyDelete