Thursday, January 7, 2010

Wanita Bermata Shangrila

oleh: Ardhi el Mahmudi


Pemuda itu terpekur, tak ada yang berani menegur. Dia tergugu dalam pilu, wajah kusut penuh kerut, mata berkaca menyimpan dalamnya duka. Dia tampak diam, namun rupanya masih ada gumam yang pelan terdengar,

"Shangrila, mata shangrila." Demikian gumamannya berulang-ulang.

Semua orang telah paham, dia pemuda dengan hati poranda. Karena keping-keping harapnya yang telah tersia. Kesedihannya bermuara pada seseorang. Seorang wanita bermata shangrila. Wanita itu telah menorehkan cinta yang sekejap berubah menjadi luka menganga. Kepahitan yang ia rasakan tak berujung. Kepiluannya mengisi tiap sudut relung.

Seorang sahabat mendekat, menyentuh bahu dan mendekapnya erat. "Ceritakan pada kami," katanya "Agar bebanmu di hati terkurangi. Berbagilah masalah, agar tak ada lagi resah."

Pemuda berhati poranda itu mulai bicara. Dengan suara pelan dia bercerita,

"Wanita itu, wanita bermata shangrila. Wanita yang membuat luka. Dia datang tanpa diundang, hanya bermula dari diskusi-diskusi ringan tentang tulisan. Dia memberi saran dan komentar, dan dengan senang hati memberi apresiasi. Kemudian, dia juga mulai bercerita tentang dirinya, berbagi pengalaman tentang kehidupan, suka duka yang ia jalani, pahit getir yang ia lalui. Kekagumanku pun muncul, simpatiku timbul. "

Pemuda berhati poranda itu berhenti sejenak, mengatur nafas yang mulai sesak.

"Suatu ketika ia nyatakan kerinduan. Berikutnya adalah kata sayang. Dan lelaki mana yang tak menerima saat wanita bermata shangrila ada di hadapannya. Dia penuhi hari-hari dengan sanjung pujian yang membesarkan hati. Simpulku, kami saling menyukai. Tapi rupanya itu hanya bayang-bayang semuku. "

Lagi, pemuda berhati poranda berhenti, dan di sampingnya sang sahabat masih setia menanti kata berikutnya.

"Suatu hari dia, wanita bermata shangrila itu berkata, 'Aku tak lagi bisa menyapa dan tak bisa memberi apa-apa., kau pun kuminta tak lagi menemui.' Saat itu akalku buntu, lidahku kelu. Rupanya dia telah mempunyai calon suami jauh hari sebelum aku ia datangi. Kecewaku panjang, kenapa ia tak katakan sejak awal. Sedang kini bunga-bunga itu terlanjur bermekaran. Hatiku dipenuhi tanya, untuk apa ia ungkapkan kerinduan dan kata sayang jika tak bisa menyatukan? Untuk apa ia tuangkan pujian dan sanjungan jika hanya akan meninggalkan? Sebenarnya Apa yang ada dalam benaknya hingga tega membuatku nestapa? Dia menggoreskan luka nganga yang entah kapan tersembuhkan."

Sang sahabat masih diam, siap mendengar kalimat lanjutan. Setelah yakin tak ada kata, rengkuhnya semakin erat. Sebagai isyarat sebuah nasehat tanpa ucap, "Engkau harus kuat."

Sahabat itu menatap lembut wajah tampan berkabut. Pemuda ini terlalu sering dilanda nestapa, tak sekali dua hatinya terluka.

"Tak adakah kata untukku."Pemuda berhati poranda ambil suara.

Sang sahabat tersenyum, dan mulai berbicara panjang.

"Ketika hati patah, akan tetap ada kecewa dan duka. Namun kehidupan ini tetap berjalan tanpa peduli keadaan kita. Tidak ada pilihan lain selain menerima apa adanya, berlapang dada, memasrahkan jiwa hanya pada-Nya dan berusaha sekuat tenaga menggapai cita-cita. Yah, karena itu semua lebih dekat dengan pintu surga."

Pemuda berhati poranda berdecak, nafas berat dihembuskan berharap kelapangan datang. "Dia wanita bermata shangrila." gumamnya kemudian.

Sang sahabat memandangnya, mencoba mengukur seberapa dalam nganga luka di hati sang pemuda.

"Tak kah kau ingat kata-katamu sendiri, " Sang sahabat diam sebentar, membiarkan kalimatnya mengambang untuk mencuri perhatian.

"Kata-kata yang kau pahat di hati sebagai prasasti? 'Masih banyak manusia yang harus ditemui, masih banyak kota yang harus disinggahi, kenapa harus berhenti?' Bukankah itu kata-katamu dulu? Apa hanya karena wanita kau akan korbankan cita? Apa hanya karena mata yang bak shangrila kau akan tumbang di tengah jalan? Tidakkah kau ingin mahkota cahaya tersemat di atas kepala kedua orang tua? Tidakkah kau ingin menjadi bagian keluarga-Nya yang berjalan di antara manusia...?"

"Kau belum pernah jatuh cinta." potong pemuda berhati poranda.

"Cinta? Cintamu itu semu! Hanya fatamorgana yang menipu. kalau memang cintamu diridhoi, kenapa larut dalam kalut? kenapa kau rasakan hatimu teriris sembilu? kenapa kau berkubang dalam kegelisahan dan kedukaan yang dalam? Dia bukan hakmu,bukan rizkimu. Wanita itu meskipun ia bermata shangrila lupakan saja."

Pemuda berhati poranda membantah,"Tak semudah itu..."

Sang sahabat menggelengkan kepala, "Aku mulai kehilangan akal menghadapimu. Cara apa lagi yang bisa kulakukan agar bisa membuatmu lepas dari belenggu benalu?"

Keduanya kemudian terdiam, larut dengan pikiran dalam kebisuan. Sang sahabat tak tega melihat pemuda berhati poranda tampak makin nelangsa. Dia pun kembali berkata,

"Engkau tentu sudah hafal di luar kepala apa yang akan kukatakan kali ini. Sebuah ayat yang paling engkau sukai di saat kecewa mendatangi." Sang sahabat berhenti sejenak menunggu reaksi.

"Sapi betina, tidakkah kau suka?" lanjutnya dengan nada canda.

Senyum setipis garis hadir di bibir. "Ya, Al Baqoroh." kata pemuda berhati poranda.

Sang sahabat menganguk sembari berkata, "Al Baqoroh, halaman ke tiga belas dari juz dua. baris pertama. Tentu kau ingat ayatnya."

"Aku ingat," Jawab sang pemuda berhati poranda. "216. Wa 'asaa antakrohu syaian wa huwa khoirul lakum, wa 'asaa antuhibbu syaian wa huwa syarrul lakum." Pelan ia lantunkan ayat Al Qur'an.

"Bukankah itu cukup untuk menerima semua dengan lapang dada?" tanya sang sahabat.

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu." Sang sahabat memberi jeda, dan berharap pemuda berhati poranda mau merenungkan kata-katanya.

"Kekalahan demi kekalahan itu memang menyakitkan.Memang berat memberi nilai pada kehidupan. Namun kepahitan yang dirasakan paling tidak akan menambah kedewasaan. Dan semoga saja melipatkan catatan kebaikan di mizan."

Mereka berdua kembali larut dalam kebisuan. Pemuda berhati poranda mencoba mencerna kata-kata sahabatnya. Dia memandang langit, berharap keluasan disana melapangkan hati sempit yang tersudut diantara sakit.

"Aku akan tetap mengenangnya..." kata pemuda berhati poranda memecah keheningan.

"Siapa?" tanya sang sahabat.

"Wanita bermata shangrila, siapa lagi kalau bukan dia?"

"Kamu masih mengharapkannya?" sambut sang sahabat dengan nada kecewa. Pemuda berhati poranda menggeleng.

"Seperti katamu, aku tak punya hak untuk itu."

"Lalu apa maksudmu mengenang ?"

"Aku akan mengenangnya sebagai teman yang pernah berbagi pengalaman, sebagai guru yang banyak mengajariku, sebagai saudara yang pernah mengatakan cinta dan sebagai adik kecil yang senantiasa mengharap rasa sayang dari kakaknya."

Sang sahabat tersenyum, "Asal kamu tak mengenangnya sebagai wanita yang pernah kau damba."

"Entah kalau itu, aku belum tahu apa aku akan mampu. Hanya saja akan kupatrikan harapan baru untuknya..."

"Apa itu?" Tanya sang sahabat.

"Wanita bermata shangrila, semoga dia dipertemukan dengan lelaki calon ahli surga yang akan menyertainya di dunia dengan cinta, dalam taqwa."

"Sebuah harapan mulia. Dan bagaimana denganmu?"

"Aku akan melanjutkan perjalanan, meniti jalan tuhan dan tak kan berhenti hingga mati."

"Dan bagaimana dengan kisah percintaanmu nantinya?"

"Yah mungkin akan berakhir seperti sayyid Quthb yang syahid di tiang gantungan dalam keadaan membujang, Atau seperti Imam Nawawi yang menjauhi pernikahan karena tak ingin berbuat dzolim pada wanita disebabkan oleh kezuhudannya pada dunia. Mungkin juga seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang terlambat menikah karena kesibukannya mencari ilmu dan hikmah."

"Kenapa kau selalu mengambil contoh yang tampak tragis seperti itu? Kenapa tak ingin seperti Anas bin Malik saja? Yang punya panjang usia dan banyak anaknya?"

"Itu juga boleh."Timpal pemuda dengan senyum tersungging di bibir, rupanya hatinya tak lagi poranda.


Wonogiri, 2 November 2009. di kamar kerja saudara tua.
untuk Amrul dan El, semoga kalian bahagia hingga ke surga..

2 comments:

  1. serpih hati di sela hariJanuary 14, 2010 at 9:48 PM

    imajinatif, emotif, dan puitis.

    ReplyDelete
  2. masih penasaran dengan rupa mata shangrilla......klo mata elang biasa liat klo mata shangrilla.......confuse.....

    ReplyDelete