Monday, November 16, 2009

Ta’aruf Titi

Oleh: Ardhi el Mahmudi



Hari-hari terakhir ini Titi selalu tampak ceria. Senyuman begitu sering menghiasi bibirnya. Binar matanya menambah kesan rasa senang yang tidak bisa disembunyikan. “Tinggal besok, insya Allah.” Demikian gumamnya berulang-ulang. Esok hari seorang pemuda akan datang, pemuda yang ia tahu cukup baik agama dan nasabnya. Setelah beberapa proses melalui guru ngajinya, tukar- menukar biodata dan saling bertanya tentang kehidupan masing-masing -sebagai sebuah penjajakan sebelum melangkah ke jenjang berikutnya, proses ta’aruf itu pun hampir mendekati akhir. Pemuda itu akan datang ke rumahnya, bertemu dengan ibu dan saudara-saudaranya. Tentu saja untuk memperkenalkan diri dan mungkin juga meminta izin untuk menjadi bagian dari keluarga kecilnya.


“Kamu sudah ngabari masmu nduk?” Tanya ibunya, memecah kebisuan siang itu.


“Sudah bu, insya Allah besok mas Yus datang agak siang.” Sahut Titi.


“Dengan Isna juga kan?”


“Ya iya, mosok mbak Isna ditinggal sendiri.”


“Lha si Har sudah kamu kabari juga?”
Titi terdiam saat mendengar nama Har disebut, ada semburat mendung gelisah di wajahnya.


“Kenapa? Apa ndak kamu kabari?


“Belum bu, nanti saja kalau sudah pasti khitbahnya”


Ibu hanya memandang Titi sekilas dan tersenyum tipis, “Ya sudah kalau begitu, terserah kamu.” ujarnya kemudian.


Titi menghela nafas lega, ia tahu ibu pasti mengerti dengan keputusannya untuk menunda mengabari mas Har. Besok adalah ta’aruf Titi yang keempat kalinya. Dan ia sungguh ingin ta’aruf kali ini berakhir baik, berlanjut dengan khitbah dan kemudian menikah. Tidak seperti ta’aruf-ta’aruf yang lalu, yang selalu berakhir gagal setelah proses yang panjang. Hatinya masih pedih ketika mengingat hal itu, saat tiga lelaki membatalkan rencana untuk melamarnya, tentu saja dengan bermacam-macam alasan. Dan semua penyebab pembatalan itu dipicu oleh kakaknya yang nomor dua. Meskipun tidak secara langsung tetap saja bagi Titi mas Har adalah sumber semuanya.


Lelaki pertama adalah teman Titi di organisasi kampus. Titi tahu betul pemuda ini adalah sosok idealis, jabatan penting pernah diamanahkan kepadanya dan ia bisa disebut aktivis tulen, namanya Wahyu. Awalnya proses ta’aruf berlangsung lancar-lancar saja dan mereka sama-sama cocok.


Hingga pada saat bertandang ke rumah, Wahyu tampak terkejut melihat penampilan mas Har yang “tidak biasa”, gamis putih panjang selutut di padu dengan celana longgar yang menggantung di atas mata kaki. Tak lupa kopyah haji seakan telah lekat di kepala. Setelah berbincang-bincang dan bertukar pikiran dengan mas Har tampaknya Wahyu telah membuat sebuah kesimpulan bahwa ia berbeda dengan orang yang ada di hadapannya.


Tak lama kemudian dengan alasan tidak siap menghadapi perbenturan antar harokah, perbedaan madzhab dan jamaah, ia pun berpaling. “Picik.”Demikian anggapan Titi saat mendengar alasan Wahyu, apa dia kira jama’ahnya yang paling benar? Apa ia kira jama’ahnya bisa menegakkan islam tanpa adanya bantuan dari jama’ah yang lain, bukankah perbedaan itu sebuah keniscayaan, dan dia begitu pengecutnya lari dari sebuah kenyataan bahwa perbedaan itu pasti ada.


Pemuda kedua melakukan hal yang sama dengan yang pertama, membatalkan rencana khitbahnya tapi dengan alasan yang berbeda. Dia memang tidak sefanatik ikhwan pertama, ia juga bukan seorang aktivis organisasi yang sibuk atau diamanahi posisi penting. Dari biodata yang Titi terima, Titi mengerti pemuda bernama Irwan ini di kancah organisasi memang tak begitu tampak, biasa-biasa saja tapi di bidang akademis tak ada yang mengalahkannya. Berbagai lomba ilmiah ia menangi sejak usia SD hingga kuliah, pernah pula mengikuti pertukaran pelajar  tak heran bahasa asingnya mengalir seperti bahasa ibunya sendiri. Singkatnya di mata Titi dia sosok yang lurus dan cerdas, dan siapa yang akan menolak jika dipinang olehnya.


Dan  ketika Irwan bertandang ke rumahnya lagi-lagi sesuatu terjadi, awalnya obrolan begitu hidup, hangat dan tampak akrab. Dia datang sendiri dan begitu mudah mengambil hati orang-orang di rumahnya.


“Wah, dapat adik cerdas nih.”celetuk mas Har waktu itu dan disambut senyum tipisnya.


“Katanya pernah keluar negeri juga ya?” Tanya mas Yus.


“Alhamdulillah, iya mas”


“Bisa bagi-bagi cerita? Pengalaman selama disana, kulturnya mungkin, atau bagaimana perkembangan umat islamnya?” Dan mengalirlah ceritanya, dengan bahasa santun dan tidak terdengar nada menyombongkan diri, malah dia cenderung merendah. Ada satu nilai tambah yang di catat Titi, ketawadhuan.


“Ngomong-ngomong hafalannya berapa juz akh? pasti sudah banyak ya?” Tanya mas Har tiba-tiba.


“Nggak banyak kok mas, belum mulai ngapalin.”


“Tapi biasanya mahasiswa itu hafal juz 30 dan 29, iya kan?” kejar Mas Har


“Kalau saya belum kok mas”


“Walah, ndak usah merendah gitu, wong sampeyan ini pinter kok, pasti sudah hafal banyak” Mas Har menimpali lagi, masih dengan senyum.


Dan tiba-tiba saja sikap Irwan berubah, tampak tidak tenang dan pembicaraan pun mulai kaku. Ta’aruf hari itu pun berakhir tanpa kepastian.


Beberapa hari berikutnya Titi menerima pesan dari guru ngajinya bahwa Irwan membatalkan semuanya. “Maaf ukh, mungkin memang anti terlalu sempurna untuk saya, hafalan Qur’an saya masih bolong-bolong dan saya merasa tidak pantas mendampingi adik seorang hafidz qur’an.” demikian bunyi pesan Irwan di secarik kertas yg diberikan padanya. Lagi, hati Titi perih, saat itu berulang-ulang ia menggumamkan, “Jodoh itu rizki, jodoh itu rizki, laa haula wa laa quwwata illa billah”


Ikhwan ketiga juga seorang aktivis dakwah, spesialisasinya demo! Untuk masalah aksi turun ke jalan dia nomor satu. Zaenal nama pemuda itu, adalah seorang orator ulung dan pasti langganan menjadi korlap saat para mahasiswa di kampusnya turun ke jalan. Kata teman-teman Titi, pemuda ini mempunyai kepekaan dan jiwa sosial yang tinggi.


Dan lagi-lagi ketika Zaenal bertandang ke rumah, mas Har membuka obrolan. Kali ini tentang kondisi umat islam yang terus ditekan. Tentu saja dia langsung nyambung, karena memang itu kesukaannya. Obrolan mulai merembet ke masalah demonstrasi yang dilakukan elemen-elemen umat islam.


“Katanya ente aktivis demo ya akh?”tanya mas Har dengan nada canda.  Zaenal menganguk sopan sambil tersenyum.


“Apa tidak capek akh, panas-panas. Terus jalannya jauh?” Mas Yus ikut menimpali.


“Alhamdulillah mas, lha mau bagaimana lagi, bisanya baru menggalang dana dan ikut demo, belum bisa berbuat banyak”


“Ya, kita memang belum bisa berbuat banyak. Tapi kan harus tetap bersiap-siap.” Kata Mas Har.


“Iya mas, memang harus i’dad sebelum jihad.” Timpalnya.


“Ngomong-ngomong, akhi Zaenal belajar bela diri apa nih untuk persiapan jihad?”


“Eh, gimana mas?” Sepertinya Zaenal tidak siap dengan pertanyaan itu.


“Belajar bela diri apa?” ulang mas Har.


“Mmm anu mas, belum mulai.”


“Tapi olahraganya rutin kan”


“Ehm, ya begitulah.” Nadanya ragu, dan sepertinya sikap Zaenal juga berubah seperti sikap Irwan saat ditanya tentang hafalan Qur’annya. Ya, dia memang jarang olahraga, malah hampir tidak pernah. Lalu kenapa selalu kuat untuk ikut demonstrasi? Wajar saja kuat, karena dia tidak pernah ikut jalan kaki. Dia lebih sering numpang di mobil bak terbuka, memegang mic atau megaphone dan berteriak-teriak memimpin yel-yel, dan membakar semangat para demonstran.


Seperti yang sudah-sudah, Zaenal pun mundur teratur, menyadari kekurangan diri. Bidadari yang ia damba memang dikawal sosok yang jauh di atasnya.


Dan setelah pemuda-pemuda idaman itu berlalu Titi marah dan menyalahkan Har. Kesabarannya seakan habis,


“Mau mas apa sih?” tanya Titi dengan nada kecewa.


“Ada apa to De’?”


“Berlagak bingung lagi! Maksud mas itu apa nanya macam-macam sama dia, nanyain tenang beladiri segala, kurang kerjaan tau!”


“Lha, apa salahnya?”


“Ya salah! Gara-gara itu dia batal melamar Titi!”


“Mungkin belum jodoh”


“Belum jodoh? Enteng ya mas bilang begitu, mas tahu kan Titi sudah ta’aruf berapa kali? Tiga kali mas! Tiga kali! Dan semua gagal gara-gara mas!”


“Lho kok gara-gara mas?”


“Iya, semua mundur kan gara-gara mas! Wahyu batal melamar saat lihat mas pakai pakaian kayak gitu, ngapain mas pake gamis segala? Irwan juga mundur saat mas tanya hafalan Qur’an. Terus kemarin Zaenal mundur gara-gara ditanya masalah beladiri. Masih mengelak kalo bukan mas biangnya?”


“Mas nggak punya maksud begitu….”


“Trus maksud mas apa?!? Titi tahu mas itu hafidz, mas itu jago bela diri, tapi apa semua bisa seperti mas? Mas pengen mereka seperti mas semua?! Mas, mereka kan punya kelebihan sendiri-sendiri!”


“Mungkin memang mereka tidak tepat buat ade’, kan …”


“Gak usah tausiyah deh, percuma! Mas suka ya Titi tidak juga dapat jodoh, ndak nikah-nikah! mas sih enak! Mas laki-laki, nikah umur 30 juga ndak papa. Lha aku? Aku perempuan mas! Mas suka ya adeknya jadi perawan tua!?”


Titi tak peduli bagaimana reaksi Har mendengar cercaannya, dia langsung pergi mengurung diri di kamar semalaman. Paginya, dia tak mendapati Har lagi, “Sudah kembali ke Pesantren.” Jawab  ibunya waktu ia tanya tentang Har, dan jawaban itu melegakannya.


* * *


Akhirnya hari yang dinanti tiba, ta’aruf yang keempat kalinya. Titi menunduk malu-malu menghadapi orang yang dinanti. Sesekali ia mencuri pandang, ada debar aneh saat mendengar suaranya, bias harap dan asa menari di hatinya. Mas Yus berbincang akrab dengan pemuda itu, ibu dan mbak Isna kadang ikut menimpali.


Di tengah percakapan mereka tiba-tiba terdengar ucapan salam, “Assalamu’alaikum”


Reflek, semua mata menatap ke arah pintu sembari menjawab salam. Di sana berdiri sosok yang tak asing bagi keluarga Titi. Kopyah putih, dengan gamis panjang selutut dengan warna yang sama dan celana longgar yang ujungnya menggantung di atas mata kaki.


“Mas Har?” desis Titi, tiba-tiba tangannya menjadi dingin, tubuhnya seakan beku. Dia tidak peduli lagi saat obrolan dilanjutkan dengan tambahan pemain. Titi hanya menajamkan telinga, menanti mas Har melontarkan tanya pada calon suaminya. Semenit, dua menit, setengah jam tapi tak juga terdengar suara tanya mas Har. Ia hanya sesekali tertawa kecil atau menjawab pertanyaan yang dilontarkan padanya.


“De’ bagaimana?"


“Hah? Apa?” Titi agak linglung ketika tiba-tiba mas Yus bertanya padanya.


“Kok malah melamun to? Kamu dilamar, kamu jawab apa? Menerima atau menolak.” Lanjut mas Yus. “ Kalau ibu sama mas-masmu sudah terserah kamu.” Timpal Ibu.


Dilamar? Titi seakan masih belum percaya, ia memandang ibu yang duduk di samping mbak Isna, kakak iparnya, keduanya tidak berhenti tersenyum. Mas Yus juga sama. Dan saat matanya bertemu dengan wajah mas Har yang datar tanpa ekspresi, benaknya pun menari-nari, menebak apa yang dipikirkan masnya itu tentang calon suaminya. Dan tiba-tiba saja ada keraguan untuk menjawab “ya”.


“Maaf saya tidak bisa menjawab sekarang, karena….” Sebisa mungkin Titi melontarkan alasan-alasan agar bisa menunda jawaban. Entah kenapa bila mas Har tidak berkomentar seperti ada yang kurang. Itulah yang ia rasakan. Laki-laki itu tampak terkejut dengan jawaban Titi, tapi berusaha menguasai diri. “Kalau memang begitu insya Allah akan saya tunggu.” katanya kemudian.


Sepeninggal tamu istimewanya, Titi mendekati Har, “Mas” sapanya.


“Dia baik, hafalan Qur’annya memang belum banyak tapi katanya dia mau nambah kok, dia juga…”


“Ya sudah, kalau kamu cocok ya diiyakan saja, nggak usah promosi.” Potong Har, sembari tersenyum.  “Yang mau nikah kan kamu, kalau sudah mantap ya diteruskan saja.” Lanjutnya.


“Berarti boleh?” Tanya Titi memastikan. Har tersenyum tipis dan menganguk,


“Alhamdulillah. Syukron mas!”


“Nih! pangeranmu langsung dikabari saja, kasihan kalau nunggu lama-lama” kata Har sembari menyodorkan ponselnya. “Tapi sms saja ya, pulsanya limit..” Dan tawa ceria Titi pun berderai, ia lega.



Pesma arroyan, 12 Oktober 08
(untuk zayyan yang menempuh jalan berliku demi separuh dien itu, barakallahu lak)

4 comments:

  1. ada berapa banyak cerita yang bisa diabadikan saat proses ikhwan akhwat ta'aruf ya..?

    ReplyDelete
  2. ^_^ ribuan mungkin, karena tentunya tiap orang punya kisah sendiri-sendiri dalam proses ta'arufnya ... (mbak son ni iseng banget mpe bs mikir gitu ^_^)

    ReplyDelete
  3. 'mbak son?'...

    bukan iseng.. memang real. mungkin banyak yang butuh banyak referensi seperti ini. hehe..

    ReplyDelete
  4. allahummarzuqnii zaujan shaalihan...amin

    ReplyDelete