Wednesday, November 4, 2009

UBIN

oleh:  Ardhi  El Mahmudi


Setelah sholat subuh Parto sengaja tak segera pulang. Masjid sudah sepi hanya tinggal dia dan mbah haji Bakir, imam masjid, yang sedang khusyuk berdzikir. Parto menyandarkan punggungnya ke salah satu tiang masjid. Dia diam saja layaknya orang bertafakur atau berdzikir dalam hati. Tapi sebenarnya ia melamun dan asyik dengan pikirannya sendiri. “Mungkin Sami’un punya?” gumamnya lirih. “Tapi Istrinya baru saja melahirkan. Tidak mungkin ia punya uang cadangan. Pasti semua untuk si jabang bayi. Kalau Tardi? Ah, penjudi itu kapan pernah punya uang? Setiap pegang uang larinya pasti ke meja judi. Paling dia juga utangnya menumpuk. Sastro? Ya dia pasti punya. Tapi dia itu lintah darat. Mendingan tak usah pinjam dia, susah sendiri nanti. Atau Kandar? Utang yang kemarin saja belum kubayar. Malu kalau mau utang dia lagi.”

Parto mendesah, kalau bukan karena istrinya yang merengek-rengek dia tak perlu repot memilah dan memilih teman-temannya yang punya uang lebih. Cari utangan saja susah apalagi cari uang sendiri. Mata Parto berputar dan akhirnya menunduk memandang ke bawah, lantai masjid ini tampak bagus, ubinnya dari kayu tidak licin, kalau malam tentunya tidak dingin dan kalau siang pun tidak terasa panas. Sedangkan lantai rumahnya masih tanah, penuh debu. Lantai, itulah penyebabnya, istrinya minta lantai rumahnya diberi ubin. Percakapan semalam masih terngiang di telinganya.

“Mas, mbok ya rumah ini diberi ubin. Mas ini kan sudah lama jadi pegawai, mosok lantai rumahnya masih tanah. Apa ndak malu?”

“Belum ada uangnya Sri, aku kan hanya pegawai kecil. Golongan rendah. Gajiku berapa sih? Sabar dululah, kita nabung dulu.”

“Utang kan bisa?”

“Kita sudah banyak utang.”

“Kasihan thole, dia mulai bisa mbrangkang. Kalau lantainya masih tanah kan ndak bersih. Bisa-bisa penyakitan, debunya banyak.”

Parto pun menyerah, dan mulai mencoba mencari utangan. Sami’un, Tardi, Kandar dan teman-temannya sesama pegawai tak bisa diharapkan. Mereka sama-sama hidup pas-pasan, gaji sama-sama kecil.

“Ada apa Le? Tidak pulang?” suara mbah haji Bakir mengusik lamunannya.

“Ah ndak apa-apa mbah haji, hanya ingin ngadem di mesjid.” Sekenanya ia menjawab, mencoba menutupi masalahnya. Parto salah tingkah saat haji Bakir menatapnya lama.

“Ada masalah apa di rumah? Cerita saja!” Rasa tidak enak menyergap dada Parto saat mendengar pertanyaan mbah haji Bakir, dia sudah terlalu sering merepotkan lelaki sepuh itu. Sejak dia kecil, saat ia remaja, hingga ketika ia kesana-kemari mencari kerja semua tak lepas dari bantuan mbah haji Bakir. Segan dan malu rasanya untuk mengeluh lagi pada beliau, apalagi ia sudah menikah. Guru ngajinya itu memang cukup sayang pada Parto, mungkin karena Parto orangnya nurutan, dan tidak suka neko-neko.

“Kenapa diam? Ndak usah ngapusi, mbah tahu kamu ada masalah. Masih ndak mau cerita?” tatapan sejuk orang tua itu mengikis keraguan di hatinya.

“Tak apalah sedikit cerita siapa tahu mbah haji punya jalan keluar.” Kata hati Parto. Dan meluncurlah ceritanya, tentang istrinya yang minta ubin, anaknya yang mulai bisa merangkak dan juga rencananya cari utangan.

“Oh itu to, Kalau kamu mau di rumah masih ada semen sama pasir, mungkin cukup untuk nambal lantai rumahmu.” Tawar mbah haji Bakir.

“Nggak usah repot-repot mbah, biar nanti saya …”

“Cari utangan? Kamu itu, sejak nikah kok kemaki. Biasa wae, sudah ..!, besok ambil saja, dari pada repot-repot cari utangan. Apa mau barangnya sekalian diantar ke rumahmu?”

“Eh ndak usah mbah, biar saya saja yang ngambil.”

“Lha mbok ya gitu, yo wis, aku pulang. Jangan lupa diambil.” Pamit mbah haji Bakir sembari menjabat erat tangan Parto dan menepuk pundaknya. Dalam hati Parto berjanji akan mengembalikan semen dan pasir yang ia ambil dari rumah haji Bakir. Ia menganggap semua itu adalah utang.

* * *


Parto lega, akhirnya lantai tanah itu tertutupi, memang bukan dengan ubin tapi hanya plesteran semen. Memang tak mewah tapi cukup bisa mengurangi debu tanah hingga nanti anaknya bisa leluasa bermain di lantai. Dan yang jelas bisa menutup mulut istrinya yang terus-terusan minta ubin. Tapi kelegaan itu tak begitu lama, beberapa hari kemudian mulut istrinya bersuara lagi.

“Mas beli karpet ya? Lantainya dingin.” Rajuk istrinya. Melihat Parto tak menanggapi, sang istri melanjutkan dengan alasan lain.

“Kasihan thole sering masuk angin setelah tiduran di lantai. Semen kan lembab kalau musim hujan.”

“Ya jangan tidur di lantai, di kasur kan bisa.”

Simbok juga sering ngeluh dingin kalau sedang duduk-duduk. Asmanya bisa kambuh nanti. Rematiknya juga.” Istrinya tak menyerah membujuk.

“Apa hubungannya asma dengan lantai dingin?” batin Parto, tapi ia tak kuasa mendebat istrinya.

“Ya nanti dipikir, aku belum punya uang. Sabar ya, kita nabung dulu.” Ucap Parto akhirnya.

“Utang kan bisa?”

“Sri utang kita sudah banyak, utang sama mbah haji Bakir saja belum kita bayar mosok mau cari utangan lagi? Belum lagi utang ke Kandar waktu thole sakit, utangmu ke warungnya yu War belum dibayar juga kan? Sekarang masih mau cari utangan? Punya utang itu hidup tidak tenang.” Panjang lebar Parto mencoba menasehati. Istrinya pun diam sambil cemberut.

“Sabar dululah Sri, kalau nanti ada rejeki kita beli karpet.” Percakapan itu pun berakhir, istri Parto tampaknya sudah mulai menerima meski masih dengan wajah tertekuk.

* * *


Hari menjelang ashar, dalam lelah Parto melangkah., perut yang lapar dan kepenatan memaksa kakinya bergegas. Tapi seketika rasa laparnya menguap ketika mendapati keadaan lantai rumahnya yang berubah.

“Lho, karpet siapa ini Sri?” tanyanya terkejut.

“Karpet kita! Lha memangnya karpet siapa?” jawab si Sri sambil mengulum senyum.

“Kamu beli pakai apa? Uang dari mana? Kamu utang ke siapa?” Cecar Parto menyelidik.

“Sabar mas, nanyanya mbok ya satu-satu. Ini nggak utang kok, ini kreditan.”

“Apa bedanya dengan utang?”

“Ya beda!”

“Aku kan sudah bilang, ndak usah beli karpet dulu. Kamu kok ndak mau sabar to?”

“Sabar gimana? Lha nanti kalau thole masuk angin gimana? Ujung-ujungnya cari utangan juga kan, buat periksa? Buat nebus obat? Hayo? Kata bu Bidan kan mencegah lebih baik dari pada mengobati.”

Parto tidak berminat mendebat istrinya, dari pada nanti perang, lebih baik diam. Dia hanya mendengus dan berlalu dengan jengkel. Parto sering heran dengan tingkah istrinya itu, apa tidak memikirkan keadaan rumah tangganya yang pas-pasan.

* * *


“Mas pijitin dong, aku capek, thole tadi ngompol di karpet.”

“Suruh siapa beli karpet.” batin Parto. Tapi tangannya tetap bergerak memijit lengan dan pundak istrinya.

“Pasang keramik saja ya mas, kan nggak harus nyuci kalau kena ompol.” Parto menghela nafas panjang sembari membatin kenapa istrinya tidak juga merasa cukup dengan yang ada.

“Dingin, licin. Nanti kalau thole masuk angin gara-gara tidur di lantai atau kepleset gimana?”

“Nggak kok.”

“Kamu kok ngeyel,”

“Di tempat yu War nggak dingin. Nggak licin banget.”

“Itu bukan keramik, itu marmer.” Jawab Parto sok tahu, padahal dia belum pernah masuk ke rumah yu War. Selain itu sebenarnya dia juga tidak tahu apa bedanya keramik dengan marmer.

“Ya udah pasang marmer saja.”

“Mahal, bisa-bisa jual rumah buat beli marmer.”

“Mosok sampai jual rumah, utang kan bisa?”

“Mau utang lagi? Karpetmu saja belum lunas.” Sri diam, sesekali meringis ketika Parto memijit agak keras.

“Kalau ubin kayu gimana mas? Ganti ubin kayu saja ya mas, kan tidak dingin, tidak licin.mungkin saja lebih murah.”

“Carinya susah harus ke luar kota.”

“Lha yang di masjid itu?”

“Itu sumbangan. Belinya juga aku ndak tahu dimana.”

Istri Parto nampak diam, matanya terpejam menikmati pijatan sang suami. Parto lega, akhirnya istrinya berhenti berkata-kata, dan tangannya tetap bergerak di pundak istrinya.

***


Seperti hari-hari yang biasa dijalani. Parto pulang menjelang ashar. Tatap heran muncul di wajahnya saat didapatinya tumpukan kardus di depan rumah. Istrinya yang berdiri menyambutnya langsung ditanya.

“Apa ini Sri?”

“Marmer.” Jawab istrinya kalem.

“Uang dari mana?”

“Dari kang Sastro.”

“Rentenir itu?”

“Bunganya kecil kok mas. Cuma dua persen.”

Tiba-tiba kepala Parto pening, terbayang pasir dan semen dari haji Bakir yang belum dikembalikan, karpet yang belum lunas cicilannya, dan sekarang ditambah utang berbunga. Dia merasa begitu marah pada istrinya.

“Kamu sudah kelewatan Sri! kapan kamu mau nurut sama aku!?” keras suara Parto.

Tanpa memperdulikan istrinya yang terkejut dengan bentakannya Parto pergi meninggalkan rumah. Dan istrinya memandanginya dengan tatap tak mengerti.

(Ar Royyan, 7 Juni 2006) Qona’ahkah kita?


thole / le : panggilan untuk anak laki-laki


mbrangkang : merangkak


neko-neko : macam-macam


nurutan : penurut


ngapusi : berbohong


Biasa wae : biasa saja


Simbok : Ibu


yu : kependekan dari mbakyu




Cerpen ini pernah di muat di Lembar Khazanah (eLKa) majalah Sabili, edisi berapa ya? lupa.... ^_^.   Ada yang tahu?

2 comments: