Thursday, October 22, 2009

Bunga-Bunga Benalu di Hatiku

Momen itu masih lekat dalam ingat. Saat kamu memandangku dengan bingkai malu, mata itu seakan ingin mengatakan sesuatu. Betapa hatiku berbunga ketika tatap mata itu menyapa karena tatapan itu bagiku adalah jawaban dari harapan yang sekian hari kututupi. Pandangan itu adalah sebuah tanda kesediaan atas pinta-pinta yang tak sempat terucapkan. Meski hanya sekilas, meski sebentar, meski hanya sekali, tatapan itu begitu berarti...

Di ruang kuliah bercat kusam, dengan bangku-bangku model kuno yang terbuat dari besi penuh karat dan kayu-kayu berat. Aku dan kamu duduk berbaur dengan puluhan mahasiswa lainnya, melihat ke arah yang sama, ke depan, tempat seorang dosen sedang berkoar menerangkan mata kuliah Belajar Pembelajaran.
Entah dari mana bermula ketika tiba-tiba sang dosen menyinggung masalah pernikahan. Reflek aku memandang ke arahmu, tak kusangka kau pun sedang memandangiku dengan senyuman setipis garis. Dan kutemukan binar yang tak biasa disana, yang membuat taman di hatiku makin dipenuhi bunga-bunga.

Di antara kita memang tak pernah terucap kata-kata ungkapan rasa. Semua tersimpan dalam hati dengan rapi. Sebelumnya pun aku tak pernah tahu rasa di hatimu, tapi setelah tatapan itu binar harapan kian terang, sayang itu tak akan bertepuk sebelah tangan.

Namun, seiring waktu yang berjalan, kehendak memang tak selamanya bisa dipaksakan. Segala ingin tak juga bisa selalu didapatkan. Kehidupan kampus dan pergaulanmu dengan kalangan tertentu telah mengubah asa yang pernah ada. Yang kutahu, pengetahuanmu tentang agama dan harokah kian bertambah, maka makin mengertilah kamu tentang batas-batas itu.
Sedang aku? Meski telah mengerti jauh-jauh hari, aku masih saja memelihara bunga-bunga yang rupanya adalah benalu bagi hatiku.

Akhirnya, segala puji hanyalah milik-Nya. Kesadaran itu pun datang. Benalu yang kukira bunga ini memang seharusnya dibuang dan tak sepantasnya dipelihara. Tapi bagaimana cara memusnahkannya, sedang bayanganmu selalu muncul di ekor mata?

Setelah kesulitan pasti ada kemudahan, setiap kita berazzam pasti akan diberi jalan. Dan jalan itu pun terbentang, Dia -atas kuasanya- telah memberi keberanian untuk membuat sebuah keputusan. Putusku pergi agar perjumpaan itu tak lagi terjadi.
Dan kini bayanganmu tak lagi merajam hati. Rasa itu sekarang bukan sesuatu yang menyakitkan. Bukan pula siksaan yang membuat terkapar. Rasa itu telah menjadi kenangan, sekedar hiasan bagi kehidupan.

Pelan tapi pasti, bayanganmu hilang ditelan kesibukan. Bunga-bunga benalu itu pun layu. Harapan-harapan itu pun tak lagi menggebu. Tinggallah kini kepasrahan bersemayam, menyerahkan semuanya pada ketentuan yang telah tertuliskan.
Aku telah berhenti berharap, karena ada sesuatu yang lebih utama dari pada memelihara bunga. Ada yang lebih penting dari pada menapaki jalan dengan hati kering.

Karena jiwaku milik zaman. Karena diriku hidup untuk sebuah pengabdian.
Demi sesuatu yang abadi. Demi menyiapkan pertemuan dengan Yang Maha Suci. Demi janji-janji yang diikrarkan oleh diri. Demi hari yang pasti terjadi. Aku ingin bersegera menuju sebuah panggilan,
"Duhai jiwa, terjunlah ke medan laga. Turun! atau kau harus dipaksa. Kulihat engkau membenci surga. Sungguh kalaupun kau tak gugur, kau pasti kan binasa jua..."

1 comment: